Kontroversi dalam sejarah adalah sebuah keniscayaan. Ia adalah sesuatu yang bersifat lumrah. Justru sejarah itu akan terbangun secara kokoh dengan adanya kontroversi yang melingkupinya. Apalagi terbentuknya sejarah itu memang bisa berangkat dari fakta sejarah itu sendiri. Namun bisa jadi kemudian dari fakta yang ada masuk apa yang diebut sebagai legenda atau hikayat dan sebagainya, yang memperkaya fakta sejarah atau analisis sejarah. Terkadang sejarah pada awalnya berangkat dari legenda dan hikayat, baru setelah ditemukan dan didukung dengan fakta dan fdata yang ada, jadilah ia disebut sejarah. (Ini sejalan dengan kata “sejarah” yang dikembangkan dari bahasa Arab “Syajarah” [pohon]).
Dari segi keagamaan sendiri kontroversi disebut oleh pepatah Arab (yang sering disebut sebagai hadits Nabi) sebagai “rahmat” dari Tuhan, yang membuat kita kaya akan informasi dan bukti. “al-Ikhtilafu ummati rahmatun”, kontroversi dikalangan ummatku adalah rahmat. Dalam budaya bangsa kita kontroversi dan aneka perbedaan yang ada adalah simpul pembentuk kebhinekaan kita. Menurut al-Qur’an (Qs. Al-Hujurat/49: 13), kontroversi dan aneka perbedaan yang ada adalah agar masing-masing saling berta’aruf (saling mengenal dan memperkaya pengetahuan). Uniknya kata yang dipakai adalah “’arafa”, bukan “li-ta’alamu” (saling mengetahui). Perbedaan bukan sekjedar untuk diketahui, namun untuk dikenal sehingga akan semakin mempererat kerukunan dan poengetahuan, agar saling menghargai berbagai dimensi perbedaan yang ada. Inilah salah satu esensi ajaran agama, yang sangat harmonis dengan tradisi budaya kita sebagai bangsa Indonesia.
Kontroversi yang melingkupi Syekh Siti Jenar sebenarnya hanyalah sebagian kecil dari kontroversi sejarah Walisongo, dan sebuah noktah kecil kontroversi dari sejarah penyebaran Islam di Indonesia, juga sebuah titik kecil kontroversi asimilasi budaya bangsa kita dengan berbagai agama, budaya yang berdatangan di negeri kita.
Contohnya adalah kontroversi tentang asal mula kata Walisongo: Wali + songo, Wali-sana, wali-sangha dan sebagainya. Dari kontroversi nama ini, kemudian berkembang menjadi kontroversi jumlah Walisongo, posisinya dalam negara dan agama, nama-nama mereka, asal-usulnya dan sebagainya. Kontroversi sejarah daqkwah Islam juga terjadi dalam banyak dimensi, seperti sejak kapan dakwah terjadi, siapa saja pelaku dakwah yang betrposisi sebagai perintis dakwah, pelanjut, pewaris dan generasi penerusnya kemudian, dan bagaimana hubungan antar generasi sehingga dakwah Islam menjadi betrkelanjutan. Bagaimana juga perkembangan pelaku syi’ar dakwah Islam yang semula dilakukan orang-orang Timur Tengah, Cina, dan India, lalu diteruskan oleh ulama-ulama pribumi, yang akhirnya dari Indonesia sendiri muncul ulama-ulama berkelas internasional.
Masing-masing tokoh pelaku sejarah di Indonesia juga memiliki kontroversinya sendiri-sendiri. Termasuk semua ulama Walisongo, semuanya diliputi oleh kontroversi. Contoh: tokoh Sunan Kalijaga. Dari nama dan julukan saja sudah memunculkan banyak pertanyaan. Mengapa para ulama Islam zaman itu digelari Sunan atau Susuhunan, juga mengapa diberi gelar Wali? Maksudnya apakah wali dalam konteks keagamaan ataukah dalam kmonteks politik (auliya, atau wali-nagari)? Mengapa sebagian menggunakan istilah Sunan, dan sebagian lainnya Syekh? Lalu yang sezaman dengan Walisongo era Demak, mengapa yang terkenal dengan sebutan “Syaikh” lebih dilekatkan kepada Siti Jenar? Yang justru warisan ajarannya banyak diapresiasi orang Jawa (selain Sunan Kalijaga tentunya)? Nama Kalijaga itu istilah apa? Seseorang yang “menjaga kali/sungai” dengan jalan bertapa, atau karena ia berasal atau juga pernah tinggal lama di Kalijaga Cirebon, atau dari istilah “Qadhi-Dzakka” atau yang lain? Apakah ia orang Jawa, Cina, Arab, atau Jawa keturunan Arab dan atau Cina?
Tokoh walisongo lain, yang bukan termasuk obyek ziarah utama makam 9 wali, Syaikh Maulana Maghribi misalnya. Siapakah dia sebenarnya? Apakah maghribi berarti “arah kulon” yang di Arab, atau dari Maroko? Lalu bagaimana hubungan antara Syaikh Maulana Ibrahim al-Maghribi yang di Pantaran dengan Maulana Maghribi di Parangtritis dan juga dengan Maulana Maghribi “Sunan Gribik”? Adakah mereka itu sebenarnya satu orang, atau memang tiga sosok yang berbeda? Kalau mereka sosok bertiga, apa hubungan mereka dan kapan datangnya? Memang secara “ghaib” diketahui bahwa mereka adalah sosok yang berbeda. Sama halnya dengan Syakh Jumadil Kubro yang dimakamkan di Kaligawe-Semarang, di bukit gunung Turgo Sleman, di Trowulan Mojokerto, serta di Gowa Sulawesi, siapakah mereka? Secara ruhani mereka memang memiliki nama yang berbeda. Namun persoalanya, bahwa bukti “ghaib” belumlah diakui sebagai data sejarah yang valid secara akademis. Demikian juga bahwa hikayat, legenda, cerita rakyat dan sejenisnya belum banyak diakui sebagai pintu gerbang analisa sejarah. Kita sering terjebak bahwa sesuatu diakui sebagai fakta sejarah, jika salah seorang ilmuwan Barat sudah menyebutkannya dalam buku-buku mereka. Kita kadang kurang atau tidak berani mengatakan sesuatu sebagai fakta sejarah secara independen. Inilah yang juga menjadi salah satu faktor adanya kontroversi dalam sejarah kita sendiri.
Contoh kontroversi lain adalah sosok Syaikh Maulana Malik Ibrahim atau Sunan Gresik. Bagaimana posisinya dengan kerajaan Majapahit? Bukankah ia menjadi seorang pemuka agama sekaligus sebagai pemuka politik Gresik karena “anugerah” Prabu Wikramawardhana? Apakah ia hanya sekedar pendakwah yang tidak memiliki hubungan dengan sang Raja Majapahit? Apakah tidak mungkin ia telah menjadi salah satu penasehat Raja Majapahit yang berlainan keyakinan itu? Lalu bagaimana kisah Pangeran Kertawijaya (Brawijaya) yang pernah menjadi murid Sunan Gresik itu menempatkan diri sebagai bangsawan Majapahit, sekaligus sebagai murid seorang Sunan? Demikian juga halnya dengan Prabu Kertabhumi Brawijaya V, bahwa ia adalah telah sedemikian “dekat” dengan Islam. Tentu ini menyediakan lahan kmontroversi yang demikian banyak. Belum lagi kenyataan bahwa salah satu mata uang Majapahit adalah koin emas bertuliskan syahadat. Juga adanya makam para wali Islam di tengah pusat kerajaan Majapahit yang salah satu angka nisannya adalah abad ke-9 M (makam Syaikh Zainuddin).
Kontroversi lagi di seputar Walisongo. Ada tokoh Ki Ageng Kebo Kenongo atau Ki Agewng Pengging Anem, dan Ki Ageng Kebo Kanigara. Mereka dicap kafir karena berseberangan dengan politik Demak. Namun bukankah terdapat kenyataan bahwa mereka berdua adalah pernah menjadi santri Sunan Ampel, dan dilanjuytkan nyantri kepada Sunan Bonang? Karena cap “pemberontak Demak” ini, maka tokoh Ki Ageng Pengging sampai saat ini tidak diakui sebagai salah satu pendiri dan pembangun wilayah Boyolali (bekas Kadipaten Pengging), walaupun memang kata Boyolali kisahnya diambil dari perjalanan Ki Ageng Pandanaran II atau Sunan Tembayat. Namun saat itu wilayah yang dilewati Sunan Tembayat adalah bagian dari wilayah Kadipaten Pengging.
Penulisan sejarah dakwah Walisongo itu sendiri sebenarnya mengalami kemandegan, dengan 9 tokoh utama yang sekarang menjadi obyek ziarah. Namun kehadiran wali-wali yang lain kurang mendapat perhatian dari segi penulisan sejarah, yang tentu saja akan memperkaya dan menjadi gerbang rekonstruksi sebagian sejarah bangsa kita. Contoh tokoh Syaikh Subakir, Syaikh Maulana Syamsu Zain, Syaikh Isma’il Mbah Bangil, Syaikh Syamsuddin Pangeran Makkah (Syaikh Washil Kediri), Sunan Rahmat di Garut (Raden Walangsungsang), Syaikh Datuk Kahfi, Sunan Nyamplungan di Karimunjawa (Raden Amir Hasan), Syekh Bentong, Syaikh Quro, Sunan Lawu (Raden Kertabhumi), Sunan Mojoagung (Sayid Sulaiman), Sunan Mbejagung, Sunan Kuning Semarang, Sunan Panggung (Syaikh Wali Jaka) Kendal, Mbah Panggung di Tegal, Sunan Katong Kaliwungu Kendal, Mbah Machdum Ali murid Sunan Giri di Banyumas, Sunan Ngerang Lasem, Raden Santri Pandeglang (Syaikh Maulana Muhammad Shalih), Maulana Malik Isra’il Gunung Santri, Raden Santri Ali Muretadhga Gresik, Raden Santri Gunung Pring Magelang, Kyai Babeluk (Belukan Laweyan Solo), Syaikh Saridin Jangkung dan sebagainya yang jumlahnya ratusan ulama dan wali, apalagi jika dihitung sejak abad ke-8 M sampai dengan abad ke-18 M.
Di Komplek makam Troloyo terdapat nama-nama penyebar Islam, baik sebelum maupun semasa dengan Walisongo seperti: Sayid Utsman Haji Sunan Ngudung, Sayid Husein wa Imamuddin Shofari Tralaya, Syaikh Tan Kim Han Abdul Qadir Tsani Tralaya, Syaikh Maulana Syekhah, Syaikh Maulana Ibrahim Tralaya, dan Ahlu Maqbaratussabi’ah Tralaya, yang dalam nama-nama Jawa yang dipampang pada peta makam dikenal dengan sebutan Noto Suryo, Noto Kusumo, Gajah Permada, Sabdo Palon, Naya Genggong, Mban Kinasih. Padahal pada nisan mereka jelas terdapat ukiran-ukiran bertulis Arab, seperti nama-nama Syaikh Zainuddin dan sebagainya. Tentu usia pencantuman nama pada papan peta makam dengan ukiran nisan (sebagian hilang dicuri), lebih tua yang di batu nisan yang berangka tahun abad ke-14 awal. Belum lagi ulama-ulama yang memakai gelar Ki Ageng dan Panembahan, misalnya Ki Ageng Henis, Ki Ageng Juru Martani, Ki Ageng Pemanahan, Ki Ageng Butuh, Penembahan Yusuf, Penembahan Juminah dan sebagainya. Juga gelar Kyai atau Ki, misalnya Ki Yosodipuro atau Ki Ronggowarsito dan sebagainya. Ada juga ulama-ulama atau wali-wali wanita seperti Nyai Fathimah binti Maimun, Nyi Ageng atau Gedhe Pinatih dan sebagainya.
Maka tugas kita untuk membahas aneka kontroversi tentu tidak hanya berhenti pada kontroversi Syekh Siti Jenar yang sudah melegenda itu. Tugas kita masih sangat banyak. Yang harus dipahami juga, bahwa kontroversi tidak akan pernah terhenti dengan ditemukannya fakta sejarah sekalipun. Karena apa yang disebut fakta sejarah juga melibatkan aneka penafsiran, anggapan dan sejenisnya.
Kita berangkat dari kisah tentang kasus pengadilan Syaikh Siti Jenar yang tersebut dalam literatur-literatur klasik, seperti Serat Negara Kertabumi, Babad Demak, Suluk Walisongo, maupun Suluk Syekh Siti Jenar, dimana Syaikh Siti Jenar berposisi sebagai ”terdakwa”, dan Walisongo berposisi sebagai hakim. Jika semua kisah memang terjadi, berarti ada tiga kali pengadilan atas Syaikh Siti Jenar, yakni pengadilan oleh Sunan Giri, dan dua kali pengadilan dimana Walisongo diketuai oleh Sunan Bonang.
Sayangnya dalam berbagai serat, suluk dan babad tersebut terdapat satu hal yang kurang tepat. Yakni bahwa dalam penuturan sumber-sumber tersebut Walisongo yang dihadirkan adalah tokoh-tokoh besar Walisongo, yang digambarkan hidup dalam satu zaman. Padahal, tokoh-tokoh besar Walisongo tidaklah hidup dalam satu periode zaman saja. Maulana Malik Ibrahim misalnya, berdasarkan tulisan pada batu nisannya wafat tahun 1419 M, Sunan Ampel wafat tahun 1481 M, Sunan Drajat dan Sunan Bonang (wafat tahun 1525 M) adalah putera Sunan Ampel, Sunan Kudus wafat tahun 1550 M, dan Sunan Gunung Jati misalnya wafat tahun 1570 M.
Justru dari sumber-sumber sejarah yang tidak tepat itulah sejarah Islam Indonesia kemudian dibuat. Termasuk juga dalam buku-buku pelajaran sekolah sejak tingkat dasar sampai perguruan tinggi, sejarah Islam di Indonesia hanya mengekspos tokoh 9 wali besar yang menjadi anggota dewan Walisongo. Padahal sampai pada masa runtuhnya kesultanan Demak saja, sudah terdapat lima kali periode Walisongo, dengan anggota utama 21 wali besar, di samping para wali-wali nukba (pembantu wali utama) yang bertugas di berbagai wilayah.
Demikian juga pada sajian-sajian sinematografi dari kisah para wali, sejak masa keemasan film-film Walisongo di tahun 1984-1987 sampai pada masa-masa memuncaknya sinetron laga bernuansa religius tahun 2005 hingga dewasa ini, penokohan para Walisongo masih mengacu pada sumber yang tidak tepat di atas.
Sajian-sajian dalam berbagai literatur tersebut tidak pernah didasarkan pada hasil penelitian yang valid, namun hanya bersandarkan pada tradisi kisah yang sudah ada, di samping hanya dalam kerangka menuruti kemauan konsumen, yakni enak dibaca dan enak ditonton saja. Boleh jadi, semangat semacam itulah yang membuat, dalam film-film Indonesia, para wali yang berjumlah sembilan itu bisa-bisanya dipertemukan. Kesembilan wali Allah itu digambarkan hidup pada zaman yang sama, bercakap serta hadir dalam majelis yang sama. Padahal, ketika Sunan Bonang lahir, misalnya, Sunan Ampel sudah berusia 64 tahun. Catatan sejarah juga menunjukkan bahwa ketika Sunan Gunung Jati lahir, Sunan Gresik –alias Maulana Malik Ibrahim– sudah wafat 29 tahun sebelumnya (lihat pula penuturan majalah Gatra, edisi khusus lebaran, No. 05-06, Kamis, 13 Desember 2001).
Jadi, sebenarnya tidak benar jika disebutkan bahwa Walisongo hanya terdiri dari sembilan tokoh. Menurut data penulis, terdapat tidak kurang dari 33 tokoh yang pernah menjadi anggota dan wakil dalam dewan Walisongo, sejak zaman akhir Majapahit, sampai masa awal berdirinya kesultanan Mataram, sebagai kelanjutan dari kesultanan Demak dan Pajang.
Kalau kemudian dewan dan lembaga tersebut disebut sebagai “Walisongo”, bukan berarti bahwa jumlah Walisongo hanya sembilan. Akan tetapi, hal tersebut merujuk pada dua hal. Pertama, jumlah sembilan mengacu pada wali pokok atau wali utama yang berjumlah sembilan orang pada setiap periode penetapan, dan akan selalu mengalami perubahan pada periode-periode berikutnya, baik karena wali yang digantikan meninggal dunia, atau berpindah kewarganegaraan (berpindah wilayah dakwah di luar nusantara), atau karena sebab lain.
Kedua, bahwa jumlah sembilan pada dewan wali atau angka sembilan pada Walisongo erat kaitannya dengan dasar klasifikasi yang bersifat mistik, bahwa makna angka sembilan itu sendiri dianggap keramat, baik bagi orang Islam sendiri maupun masyarakat Jawa pra Islam. Sementara bagi masyarakat Jawa Hindu sembilan terdapat anggapan bahwa Walisongo merupakan pengganti dewa mata angina Hindu yang berjumlah sembilan. Dalam sistem kepercayaan Hindu yang berabad-abad telah menjadi agama besar di Jawa, setiap arah mata angin dijaga oleh seorang dewa. Arah utara (kuwera) dilindungi Dewa Wisnu, timur (indra) oleh Dewa Iswara, timur laut (icana) oleh oleh Dewa Sambu, tenggara (agni) oleh Dewa Maheswara, selatan (kama) oleh Dewa Brahma, barat daya (surya) oleh Dewa Rudra, barat (varuna) oleh Dewa Mahadewa, barat laut (vayu) oleh Dewa Cangkara, dan sebagai pusat (ciwa) oleh Dewa Syiwa.
Kesembilan arah mata angin dan dewa tersebut digantikan oleh kesembilan wali sebagai penjaga yang melindungi masyarakat serta agama Islam, sebagaimana dahulu sembilan dewa menjaga masyarakat Hindu. Dengan demikian jelas bahwa jumlah sembilan wali utama dalam dewan Wali di Demak adalah suatu strategi politik dan budaya, agar masyarakat Jawa dapat dengan mudah menerima ajaran kesembilan wali yang dibentuk oleh pemerintahan Demak. Hal ini wajar terjadi, karena sebagian anggota para wali adalah ahli politik dan ahli strategi budaya masyarakat.
Apalagi jika kata walisanga dihubungkan dengan istilah murni bahasa Jawa kuna. Istilah ”wali” yang terkait dengan orang atau tokoh memiliki makna sebagai ”orang yang ditugasi memimpin upacara ritual” (Zoetmulder & Robson, 2006: 1376). Sedangkan kata ”sanga” jika berasal dari tulisan ”saÅ‹a” (Zoetmulder & Robson, 2006: 1018) artinya sembilan (sering dikelirukan sebagai ”sana”). Namun jika kaitannya dengan ”pemimpin ritual keagamaan” tersebut, bisa juga kata ”sanga” terkait dengan kata ”saÅ‹gha” (yang dibaca sangha), yang makna asalnya adalah ”persaudaraan para biku” (Zoetmulder & Robson, 2006: 1020). Jika demikian halnya maka walisanga maknanya adalah ”perkumpulan persaudaraan para pemimpin keagamaan”, atau sejenis dengan dewan ulama dan dewan wali (auliya’). Jumlahnya bisa 8 atau 9 atau juga lebih, dalam setiap periodenya.
Kisah para penyiar agama Islam awal di Indonesia, yang dikenal sebagai Walisongo, termasuk Syekh Siti Jenar, sampai saat ini masih banyak diselubungi oleh mitos dan misteri. Hal tersebut, bukan karena sulitnya sumber sejarah yang bisa digali, karena sumebr-sumber yang tersedia sebenarnya cukup melimpah. Namun lebih disebabkan karena “kemalasan” penelitian dan penggalian sejarah dari bahan yang tersedia tersebut. Kenyataannya karena memang lebih mudah merujuk pada karya asing, apalagi yang sudah diterjemahkan, daripada bersusah payah menggali dari sumber lokal yang masih berbahasa kuno. salah satu akibatnya adalah informasi tentang pelaku sejarah dakwah Islam di Indonesia dipenuhi oleh kesimpangsiuran dan kontroversi yang cukup banyak.
Kesimpangsiuran informasi mengenai Syekh Siti Jenar khususnya dan para anggota dewan Walisanga pada umumnya disebabkan oleh tradisi menulis dari bangsa Indonesia yang kurang. Utamanya pada masa kerajaan Demak, budaya tulis jarang didapatkan. Ajaran-ajaran para wali, termasuk Syekh Siti Jenar yang tertulis dalam berbagai babad, serat, dan suluk merupakan hasil serapan dan tuturan dari para pewaris ajarannya di kemudian hari. Sebagian memang murni ditulis secara independen. Sebagian lagi dibuat untuk memenuhi pesanan penjajah Belanda, yang kemudian dijadikan bahan penelitian para sarjana Eropa. Hasil penelitian mereka di”pasar”kan kembali kepada publik Indonesia.
Pada zaman Demak (abad ke-16), baru ditemukan dua naskah yang ditulis dalam era tersebut. Naskah Jawa-Islam ini terdapat dalam pembahasan ahli Belanda yang di sebut sebagai Het Boek van Bonang (Kitab Suluk Sunan Bonang) dan Een Javaans Geschrift uit de 16e Eeuw (Primbon Jawa abad ke-16). Dalam karya sastra Jawa-Islam zaman Demak ini, istilah “Walisanga” belum atau tidak didapatkan sama sekali. Demikian juga gelar ”Sunan” belum ditemukan, justru yang sudah ada adalah gelar ”Syaikh” (Guru Besar agama).
Menurut kajian Dr. Simuh (2003; 69), Buku Sunan Bonang masih bergaya pesantren, yakni mempertahankan ajaran ortodoksi Islam yang menentang “penyimpangan”. Inti ajarannya adalah apa yang disebut sebagai “pituturnya Syaikh Bari.” Jadi istilah yang digunakan adalah “guru” atau “Syaikh”, bukan istilah “sunan” seperti yang muncul dalam sastra jawa baru produk Kartasura dan Surakarta.
Jadi istilah “sunan” dan “walisanga” baru ditemukan dalam karya sastra jawa baru era Kartasura dan Surakarta akhir abad ke-17 dan abad ke-18. Sementara bahasan yang digunakan dalam berbagai babad, serat, dan suluk yang menceritakan Walisanga, bukan bahasa jawa zaman Majapahit dan Demak. Namun kebanyakan berbahasa Jawa baru versi Surakarta. Bahkan, menurut Dr. Rasyidi (1977), yang mengkaji serat Gatholoco dan Darmagandul yang mengisahkan zaman peralihan dari Majapahit ke Demak, ternyata sudah ada istilah polisi, kelah dan sebagainya, di mana istilah-istilah tersebut baru muncul pada abad akhir ke-17. Jadi –menurut Dr. Rasyidi- cerita yang terdapat dalam serat tersebut merupakan hasil rekaan zaman penjajahan Belanda di Surakarta. Memang salah satu efek dari “ketundukan” kerajaan Surakarta kepada Belanda adalah penetrasi besar-besaran di bidang karya sastra, hasil penelitian para sarjana Belanda yang disosialisasikan di kerajaan Surakarta, Kartasura, dan Yogyakarta. Sementara sampai saat itu, kerajaan masih memegang kendali kebudayaan atas masyarakat.
Sementara itu, episode kisah Syekh Siti Jenar yang ditampilkan dalam berbagai naskah kuno umumnya hanya terdiri dari bagian-bagian:
a. Pertemuan para wali untuk membicarakan hakekat Tuhan.
b. Perdebatan para wali dengan Syekh Siti Jenar tentang hakekat Allah.
c. Pemanggilan Syekh Siti Jenar oleh para wali, dan
d. Hukuman mati terhadap Syekh Siti Jenar, yang dijatuhkan oleh para wali, atas idzin Sultan.
Umumnya, bagian-bagian yang lain didapati tercecer dalam berbagai naskah, yang saling melengkapi. Atau juga hanya ditampilkan secara tersirat dan tersamar dalam naskah-naskah yang ada. Sehingga masih memerlukan kerja besar untuk merekonstruksi biografi dan skema ajaran menyeluruh dari Syekh Siti Jenar.
Dari sedikit gambaran tersebut, nampak juga bahwa deiantara gelar Sunan dan Syaikh, walaupun sekarang dominan gelar ”Sunan”, akan tetapi sejak awal perkembangan Islam di Jawa, gelkar ”Syaikh” lebih lazim dan lebih dulu hadir dalam khazanah sejarah dakwah di Indonesia. Konon gelar ”Sunan” pertama kali diberikan kepada Syaikh Maulana Malik Ibrahim menjadi Sunan Gresik oleh Panglima Cheng Ho, serwaktu berkunjung ke Majapahit. Salah satu jasa besar Sunan Gresik adalah terbentuknya komunitas muslim di tengah Ibukota Praja Majapahit. Sejarawan R. Soekmono memaparkan hasil penelitian Louis Damais, yang telah berhasil menemukan angka pasti tahun 1368 M, yakni pada masa pemerintahan Hayam Wuruk di Majapahit, bahwa pada tahun tersebut di pusat ibukota Majapahit sudah ada kelompok masyarakat beragama Islam, tepatnya di bagian selatan kota (sekarang di desa Tralaya). Hal ini menunjukkan bahwa Islam sebagai unsur budaya telah meresap dan diterima dalam masyarakat yang masih bercorak Hindu. Kehadiran Islam tanpa mendatangkan gejolak sedikitpun. Corak dakwah yang demikian ini rupanya yang kembali dilakukan oleh Syaikh Siti Jenar.
Akan tetapi sebelum kehadiran Sunan Gresik, di Indonesia sudah terlebih dahulu hadir para masyayikh seperti Syaikh Maulana Syamsu Zain dan sebagainya. Tokoh Siti Jenar ternyata lebih dikenal sebagai ”Syaikh” daripada sebagai ”Sunan”. Ini menunjukkan bahwa memang kehadiran Syaikh Siti Jenar sebagai salah seorang wali penyebar Islam di Jawa memiliki posisi yang penting dan dominan. Selain itu, gelar ”Syaikh” tersebut mengindikasikan tentang darimana asal-usul leluhur Syaikh Siti Jenar, atau paling tidak darimana beliau memperoleh ilmu keagamaannya, walaupun beliau sendiri kemudian telah menjadi orang Jawa yang ”Njawani”.
Kontroversi tentang sosok Syaikh Siti Jenar yang sangat urgen untuk dikemukakan adalah, apakah Syaikh Siti Jenar merupakan tokoh nyata atau hanya rekaan?
Kelemahan paling pokok tentang masalah ini adalah, bahwa Syaikh Siti Jenar tidak meninggalkan naskah tertulis tentang beliau sendiri maupun tentang ajarannya. Namun sebenarnya para Wali penyebar islam di Indonesia kebanyakan juga tidak meninggalkan karya tertulis. Yang diketahui atau diduga meninggalkan karya tertulis baru Sunan Bonang (Het Boook van Bonang), Syaikh Ibrahim al-Samarqandi (Suluk Ngasmoro), Sunan Kalijaga (Serat Dewaruci, Suluk Linglung, Suluk Kakiwalaka).
Dengan demikian maka alasan tersebut tidak bisa dijadikan alasan bahwa Syaikh Siti Jenar hanyalah tokoh mitos. Selain itu, jika tokoh-tokoh sekaliber R.Ng. Ranggawarsito menyebutkan tentang beberapa wali penyebar Islam, termasuk tokoh Sunan Kajenar, tentulah tokoh yang disebut tersebut memang pernah ada.
Sebagaimana banyak disebutkan, bahwa sebagian penulis dan peneliti sejarah masih meragukan keberadaan Syekh Siti Jenar sebagai tokoh historis. Bahkan sebagian malah meyakini secara pasti, bahwa tokoh ini hanyalah sebagai simbolisme yang dibuat oleh para penyebar Islam awal, terkait dengan upaya dialogis antara para ulama Islam dengan masyarakat Indonesia yang kala itu masih banyak yang beragama Hindu dan Budha. Alasan tambahannya adalah, bahwa tidak ditemukan bukti sejarah yang valid mengenai tokoh Syekh Siti Jenar sebagai salah satu penyebar awal Islam di Indonesia.
Tentu keberatan-kebaratan terhadap eksistensi Syekh Siti Jenar tersebut memang dapat saja kita tolerir. Akan tetapi, tentu juga dapat diajukan berbagai argumen yang menunjukkan bahwa Syekh Siti Jenar merupakan tokoh historis, sebagai eksistensi ajarannya tetap diakui hingga dewasa ini.
Pertama. Cerita mistik tentang asal muasal Syekh Siti Jenar dari cacing, yang dengan kesaktian ilmu Sunan Bonang berubah menjadi manusia memang bisa dipastikan tidak ada. Sebab Allah sudah menetapkan sunnahnya sendiri terkait dengan keberadaan manusia di dunia. Syekh Siti Jenar sebagaimana umumnya manusia, memiliki alur nasab yang jelas, riwayat pendidikan dan karir yang nyata, dan meninggalkan ajaran-ajaran yang otentik.
Memang dalam berbagai serat dan babad serta suluk kadang terdapat penambahan dan pengurangan, atau bahkan diubah, namun substansi peristiwanya tetap ada. Jadi fantasi kesejarahan dalam sejarah Walisanga memang ada, namun hal-hal yang menyangkut peristiwa penting dan gawat tentu bukanlah hanya sekedar fantasi, seperti kasus pertentangan antara Syekh Siti Jenar dengan Raja Demak dan Walisanga, dan juga tentang peristiwa tragis vonis hukuman atas Syekh Siti Jenar, adalah peristiwa yang betul-betul terjadi. Persoalanya hanyalah apakah vonis tersebut jadi terlaksana ataukah tidak.
Kedua. Peristiwa tragis yang dialami oleh Syekh Siti Jenar telah ada contoh peristiwa sebelumnya, yakni al-Hallaj (244 H/858 M – 309 H/923 M). Al-Hallaj yang dihukum mati pada masa khalifah al-Muqtadir Billah karena hasutan para fuqaha yang takut kehilangan kewibawaan, di samping pengaruh al-Hallaj yang luas berimbas pada kekhawatiran sultan Muqtadir Billah, kalau-kalau terjadi pemberontakan massal yang disulut oleh ajaran al-Hallaj. Jadi sebab utamanya adalah faktor politik. Sebab, berbeda dengan Syaikh Abu Yazid al-Bushthami, al-Hallaj termasuk tokoh yang berpolitik, sehingga kiprahnya banyak dicurigai oleh penguasa (Siroj, 2012: 39). Maka peristiwa Syekh Siti Jenar lebih memiliki alasan yang mendasar. Karena Syaikh Siti Jenar termasuk tokoh yang terlibat langsung dalam gejolak politik di Demak dan Cirebon, dimana Syaikh Siti Jenar adalah tokoh pembela dan penggerak rakyat menentang kedzaliman, berusaha untuk menegakkan kebenaran dan keadilan. Apalagi para pengikut Syekh Siti Jenar juga banyak yang berasal dari kalangan bangsawan atau mantan bangsawan, sehingga memiliki pengaruh yang kuat dalam masyarakat.
Sebenarnya inspirasi hukum yang diberlakukan oleh penguasa kerajaan dan penguasa otoritas keagamaan di Demak terhadap Syekh Siti Jenar, mengacu kepada kebijakan dan pertimbangan politik Sultan al-Muqtadir Billah ketika menjatuhkan vonis mati kepada al-Hallaj dalam usia 64 tahun (26 Maret 922), Raja al-Malik al-Dzahir bin Sultan Shalahuddin al-Ayyubi yang menghukum mati Syuhrawardi al-Maqtul dalam usia 36 tahun (1191), dan Sultan Mughitsuddin Mahmud dari Bani Saljuk atas ‘Ayn al-Quddat al-Hamadani dalam usia 33 tahun (525/1131). Sebab para wali anggota dewan walisanga memang memiliki pengetahuan tentang peristiwa-peristiwa tersebut. Ditambah lagi oleh pertimbangan politis Patih Wonosalam, yang merupakan mantan pengatur strategi kebijakan sosial-politik dan kemasyarakat kerajaan Majapahit. Hanya saja mungkin, Syekh Siti Jenar lebih beruntung, sebab ia dijatuhi vonis hukum mati pada usia yang sudah cukup sepuh, 91 tahun. Mungkin marena faktor pertimbangan kesepuhan, atau karena terbukti bahwa ajarannya tidak sesat, maka beliau tidak mati dieksekusi, namun meninggal secara wajar. Di sinilah kaca bacaan sejarah kita harus obyektif dalam menempatkan para aktor sejarah, demi kepentingan gamblangnya sejarah umat Islam, dalam berinteraksi dengan aspek lokal, bagi aplikasi agamanya di bumi Indonesia ini.
Ketiga. Keraguan sejarah kadang didasarkan pada simbolisme cacing sebagai asal Syekh Siti Jenar, dan simbolisme anjing sebagai akhir hayat Syekh Siti Jenar. Sehingga banyak para ahli sejarah yang menafsirkan bahwa keberadaan tokoh Syekh Siti Jenar adalah hasil rekayasa para dewan Walisanga untuk membuat personalisasi ajaran sesat, sebagai penjelas bagi masyarakat. Hal ini disamakan dengan personalisasi dalam wayang lakon Dewaruci, yang menurut sejarah budaya pewayangan hasil gubahan dari Sunan Kalijaga.
Namun ada perbedaan mendasar antara lakon Dewaruci dalam pewayangan dengan episode Syekh Siti Jenar. Dalam lakon wayang memang jelas antara karakter baik dan benar serta buruk dan salah, dengan cakupan pengikutnya, serta akhir ajarannya. Sementara, dalam kasus Syekh Siti Jenar sangat berbeda. Ajaran Syekh Siti Jenar terbukti banyak diikuti oleh masyarakat Jawa pada masa awal penyebaran Islam di Indonesia. Ajaran Syekh Siti Jenar juga terbukti masih memiliki banyak pengikut hingga dewasa ini.
Maka jika disinyalir bahwa Syekh Siti Jenar sebagai tokoh simbolis yang diciptakan oleh anggota dewan wali, terdapat pertanyaan yang sangat mendasar; Apakah mungkin para ulama dewan Walisanga di Demak sengaja menciptakan karakter Syekh Siti Jenar dengan ajarannya yang dianggap sesat? Jika demikian berarti kesesatan yang divonis oleh para wali itu, adalah juga ajaran sesat yang diciptakan para wali juga? Jadi hampir tidak mungkin jika para wali sengaja menciptakan ajaran sesat yang dibiarkan diikuti oleh masyarakat banyak, dan kemudian hanya untuk ditumpas. Walisanga tidak mungkin begitu kejinya membuat rekayasa, demi politik, dengan mengorbankan masyarakat kebanyakan.
Kempat. Suatu ajaran keagamaan yang dianut oleh banyak orang, apalagi diabadikan dalam berbagai bentuk karya tulis, tentu fondasinya telah ditetapkan oleh tokoh yang pernah hidup dalam kurun sejarah tertentu. Tidak mungkin ada ajaran yang sama sekali tidak ada pembawanya.
Jadi dapat kita peroleh kesimpulan bahwa memang Syekh Siti Jenar merupakan tokoh histories. Tinggal persoalannya adalah menyangkut kapan, di mana, dan bagaimana Syekh Siti Jenar menjalani kehidupannya sebagai tokoh dan person sejarah. Dan juga, bagaimana ajaran otentiknya itu.
Apalagi, eksistensi Syaikh Siti Jenar banyak dimuat dalam berbagai karya tertulis. Beberapa sumber yang dapat dijadikan pintu masuk untuk meneliti Syaikh Siti Jenar sebagai tokoh historis antara lain:
Dokumen ini menggambarkan diskusi atau sarasehan Walisanga bersama Syekh Siti Jenar di Giri Kedaton. Kropak adalah nama lain dari daun pohon siwalan atau daun tal yang biasa digunakan untuk menulis dokumen. Dalam istilah jawa, daun tal ini disebut ron-tal (daun dari pohon tal), yang sering terucap terbalik menjadi lontar. Ferrara adalah nama sebuah kota di Italia. Jadi ia merupakan dokumen yeng tertulis dalam daun lontar yang tersimpan di perpustakaan Ferrara, Italia.
Dokumen tersebut ditemukan di perpustakaan umum Ariostea di kota Ferrara, Italia. Naskah tertulis dalam bahasa Jawa kuno serta Sansekerta, di atas lontar berjumlah 23 lembar, yang masing-masing berukuran 40 x 3,4 cm. Bersama itu terdapat pula lempengan tembaga yang di bagian bawahnya tertulis kalimat, “Sebuah naskah tidak dikenal dari sebuah buku yang terbuat dari rontal terdiri atas 23 lembar, dari museum Marquis Cristino Bevilacqua di Ferrara”. Pemilik asli naskah itu tidak jelas. Namun sebelum menjadi milik perpustakaan tersebut, nampak bahwa naskah itu semula menjadi koleksi pribadi seseorang.
Naskah tersebut sampai di Italia, di duga semula dibawa oleh para pelayar Italia atau dibawa oleh rombongan misi Katholik Roma. Beberapa tahun sebelum masa VOC, yaitu antara tahun 1598-1599, misionaris Katholik Roma pernah berkunjung secara teratur ke Pasuruan.
Pada tahun 1962, copy naskah tersebut dikirim ke Leiden agar bahasa Sansekerta dan Jawa kuno didalamnya dapat dikaji oleh ahli bahasa, untuk mengidentifikasi dokumen berharga tersebut. Akhirnya pada tahun 1978, naskah Kropak Ferrara telah dapat diterbitkan oleh Koninklijk Instituut voor Taal Land en Volkenkunde (KITLV), Martinus Nijhoff, Den Haag, dengan judul An Early Javanese Code of Muslim Ethics oleh Prof. Dr. G.J.W. Drewes. Buku yang aslinya berbahasa Belanda, dan kemudian diterjemah ke dalam bahasa Inggris tersebut, oleh Wahyudi kemudian dialih bahasakan ke dalam bahasa Indonesia yang diterbitkan oleh Al-Fikr Surabaya tahun 2002. Isi utama buku ini tidak jauh berbeda dengan yang terdapat dalam berbagai naskah kuno yang lain, tentang perdebatan Walisanga dan Syekh Siti Jenar.
Dalam naskah tersebut berisi berbagai ajaran tentang ma’rifat, hakekat manusia, Tuhan dan surga, serta rumusan panduan etika kehidupan dan beragama bagi orang Islam. Dari dokumen itu juga terungkap tentang konsistensi Syekh Siti Jenar dalam mengajarkan ilmu ma’rifat atau kerohanian kepada masyarakat umum, serta meminta pengertian kepada Walisanga agar jangan memiliki perasaan yang bukan-bukan (su’udzon) terhadapnya.
Dengan diketemukannya dokumen ini, semakin menunjukkan bukti bahwa Syekh Siti Jenar benar-benar “manusia sejarah” yang betul-betul sebagai pelaku sejarah Islam Indonesia, yang telah ikut memberikan andil dan jasa besar dalam pengembangan Islam di Indonesia pada abad ke-15 sampai abad ke-16. Jadi nampaknya, dokumen Kropak Ferrara semakin menambah perbendaharaan naskah klasik yang berhasil diselamatkan tentang sisi historis Syekh Siti Jenar. Dokumen lain diantaranya adalah kitab Walisana karya Sunan Giri II, yang kemudian digubah ulang oleh R. Tanoyo dalam Suluk Walisanga.
Sayangnya bahwa dokumen Kropak Ferrara tersebut masih mengandung banyak kelemahan. Kelemahan paling mencolok adalah ketidakjelasan penulis dan pemilik awal dari naskah tersebut. Kemudian dari segi isi dan susunan naskah, nampak bahwa yang menuliskan naskah tidak bertindak obyektif. Dalam hal ini nuansa pembelaan terhadap Walisanga dan penghujatan terhadap Syekh Siti Jenar sangat nampak. Belum lagi bahwa, berdasarkan informasi dari pengkaji naskah tersebut, yaitu Drewes, bahasa yang digunakan campur aduk antara Jawa kuno, Sansekerta, dan Jawa era abad ke-15. Sehingga otentisitas naskah sebagai sumber sejarah paling kuno tentang Walisanga dan Syekh Siti Jenar masih sangat diragukan. Terlepas dari beberapa sudut kelemahan yang ada, naskah tersebut memberikan andil yang penting bagi upaya penelusuran sejarah Islam Indonesia masa-masa awal.
1) Suluk Seh Lemahbang, karya sarjana Belanda Van Ronkel. Naskah ini terbit pada tahun 1913. Jadi sejauh naskah yang ditemukan penulias, nampaknya naskah Inilah yang paling tua. Namun tidak menutup kemungkinan bahwa sebenarnya sebelum naskah Van Ronkel ini, masih ada yang lebih tua, sebab tidak mungkin Van Ronkel membuat naskah suluk ini tanpa ada sumber rujukan lain yang dibuat oleh sarjana Indonesia sendiri. Dalam naskah Ini ditemukan adanya nuansa permusuhan antara Syekh Siti Jenar dengan Walisanga Demak, juga ditemukan berbagai mistik mengenai asal-usul dan kewafatan Syekh Siti Jenar.
2) Serat Syaikh Siti Jenar yang ditulis oleh Ki Sasrawijaya, yang sebelumnya bernama Raden Panji Natarata, dari Ngijon, Yogyakarta. Pertama kali terbit tahun 1900 sebagai suplemen kalender H. Buning. Buku ini menjadi bahan utama penulisan buku Falsafah Siti Djenar (1954) oleh Bratakesawa.
3) Falsafah Sitidjenar, hasil karya Bratakesawa. Naskah ini selesai ditulis oleh Bratakesawa dengan tahun sengkalan “margining basuki angesti tuduh” (1885 J atau 1954 M). Naskah ini diterbitkan oleh yayasan Penerbitan Djoyoboyo, Surabaya, hingga enam kali cetak ulang.
4) Serat Seh Siti Jenar, berhuruf Jawa karya Mas Ngabehi Mangun Wijaya, terbitan Widya Poestaka, Weltevreden, 1917. Dalam karya ini, nuansa perdebatan teologis dan persidangan para wali, dengan tokoh sentral Syekh Siti Jenar ditampilkan secara tajam dan rinci. Obyektifitas penulisnya lebih dominan dibanding karya lain.
5) Serat Siti Djenar, terbitan Tan Khoen Swie, Kediri. Buku ini ditulis dengan dua versi, Jawa dan latin. Versi yang beraksara Jawa terbit tahun 1922, sedang yang versi latin terbit tahun 1931. Buku ini merupakan gubahan Harjawijaya atas buku yang disebut sebagai karya Sunan Giri II. Pada sampul buku ini ditulis Boekoe Siti Djenar Ingkang Toelen (buku Siti Jenar yang asli). Karena menurut penulisnya, serat ini merupakan koreksi terhadap buku-buku Syekh Siti Jenar yang telah terbit sebelumnya, termasuk serat gubahan Ki Sasrawijaya atau Panji Natarata yang banyak digunakan sebagai sumber berbagai penulisan buku Syekh Siti Jenar yang banyak beredar dewasa ini.
6) Serat Siti Jenar. Buku ini penulis temukan tanpa nama pengarangnya (anonim). Naskah ini tersimpan di Perpustakan Sono Budoyo Surakarta, dengan nomor katalog SB.137. Isi dari naskah ini tidak berbeda jauh dengan Serat Siti Djenar, terbitan Tan Khoen Swie, Kediri.
7) Kitab Wali Sepuluh, karya Karto Soedjono, Tan Khoen Swie, Kediri, tahun 1950. Kitab ini menekankan tentang peran besar Syekh Siti Jenar yang disebut penulisnya sebagai wali yang ke-10, pada lembaga atau dewan Walisanga dalam proses islamisasi tanah Nusantara. Sebenarnya kitab ini agak lebih representatif dibandingkan dengan karya Ki Sasrawijaya atau Panji Natarata, sebab jika karya Sasrawidjaya sudah diawali dengan premis atau vonis bahwa Syekh Siti Jenar sebagai wali yang murtad, maka Kitab Wali Sepuluh ini menempatkan Syekh Siti Jenar dalam bingkai yang lebih halus, dan tidak menvonis kemurtadan atau kesesatan atas Syekh Siti Jenar beserta ajarannya.
8) Serat Badu Wanar dan Serat Drajat. Kedua naskah ini telah diteliti oleh Sjamsudduha (2006: 314). Ini dari kedua naskah ini mengemukakan bahwa Syekh Siti Jenar adalah ulama dan wali yang tidak tergolong (berasal) dari Jawa. Ilmu yang dipelajarinya (dan diajarkannya) tergolong ilmu yang tinggi dan sulit. Dia tidak mengajarkan ilmu yang sesat dan menyesatkan. Dalam kedua serat ini tidak didapatkan adanya kisah yang menyatakan bahwa Syaikh Siti Jenar mengaku dirinya sebagai Tuhan sehingga beliau dihukum bunuh (sebagaimana terdapat dalam Serat Babad Demak dan beberapa serat serta babad jawa yang lain). Disebutkan bahwa Syekh Siti Jenar memperdalam ilmi wahdat, tauhid, junun, ma’rifat dan ilmu tasawuf (diantaranya) kepada Sunan Ampel. Ilmu-ilmu tersebut diuraikan maknanya dan tetap berada dalam kerangka ilmu-ilmu dalam madzhab sufi Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah (Sjamsudduha, 2006: 110-111).
9) Berbagai penuturan naskah-naskah Cirebon. Ada tujuh naskah utama mengenai Walisongo yang berasal dari Cirebon, yakni: Carita Purwaka Caruban Nagari (CPCN), Babad Tanah Sunda (BTS), Sajarah Cirebon (SC), Babad Cerbon terbitan
Brandes (BC-Br), Carub Kanda (CK), Babad Cirebon terbitan S.Z. Hadisutjipto (BC-Hs), dan Wawacan Sunan Gunung Jati (WSGJ). Dari tujuh naskah tersebut, yang menyebutkan bahwa Syekh Siti Jenar mengajarkan ajaran sesat dan kemudian dibunuh hanya tiga naskah, yaitu BTS, WSGJ, dan CPCN. Sementara dalam empat naskah yang lain: SC, BC-Br, CK, dan BC-Hs, Syekh Siti Jenar disebutkan secara mulia dan terpuji, tidak ada kesalahan dan pertentangan dalam ajarannya, dan tidak ada pembunuhan terhadap Syekh Siti Jenar baik oleh Sultan maupun para wali.
10) Kisah Siti Jenar yang terdapat di Babad Tanah Jawi, Babad Demak, Babad Jaka Tingkir, Carita Purwaka Caruban Nagari, Babad Tanah Sunda, Babad Cirebon, dan Babad Kendal.
1) Serat Dewaroetji, Tan Khoen Swie, Kediri, 1928
2) Serat Gatolotjo, Tan Khoen Swie, Kediri, 1931
3) Serat Kebo Kenanga, Tan Khoen Swie, Kediri, 1921
4) Serat Soeloek Walisono, Tan Khoen Swie, Kediri, 1931
5) Serat Tjebolek, terbitan van Dorp, Semarang, 1886
6) Serat Tjentini, terbitan Bat. Genootschap van Kunsten en Wetenschappen, 4 jl, Batavia, 1912-1915.
7) Kitab Wedha Mantra, bunga rampai ajaran para wali yang dihimpun oleh Sang Indrajit, diterbitkan oleh Sadu Budi Solo. Pada tahun 1979 sudah mengalami cetak ulang yang ke-12.
8) Suluk Walisanga, karya R. Tanojo, yang didalamnya memuat dialog-dialog antara Syekh Siti Jenar dengan anggota dewan wali.
9) Wejangan Walisanga, dihimpun oleh Wiryapanitra, diterbitkan oleh TB. Sadu Budi Solo, sekitar 1969.
Perselisihan di kalangan para ahli tentang posisinya sebagai tokoh fiktif atau bukan, sebenarnya disebabkan oleh perbedaan antara yang termuat pada peninggalan yang ada, atau karena situs-situs yang ditinggalkan memang relatif sedikit. Khazanah pustaka itu sendiri merupakan produk dari pandangan hidup suatu masa di mana factor subyektif dan kepentingan penulis sulit untuk tidak mewarnainya. Oleh karena itu sebagaimana sinyalemen beberapa penulis (Ridin Sofwan, Wasit, dan Mundiri, 2004:226), kesimpangsiuran informasi tentang Syekh Siti Jenar terkait dengan minimnya situs peninggalan yang ada, menjadi salah satu sebab utama munculnya pendapat bahwa Syekh Siti Jenar adalah tokoh fiktif. Tetapi, bukankah kebanyakan para wali juga minim situsnya?
Sebagaimana para ulama penyebar Islam era pertengahan di Indonesia, Syekh Siti Jenar memiliki banyak nama. Nama-nama tersebut ada yang karena pemberian orang tua, pemberian orang atau pihak lain, dan juga gelar dari masyarakat. Nama-nama beliau adalah:
1) San ‘Ali (nama kecil pemberian orang tua angkatnya, Resi Bungsu);
2) Syekh ‘Abdul Jalil (nama yang diperoleh di Malaka, setelah menjadi ulama penyebar Islam di sana);
3) Syekh Jabaranta (nama yang dikenal di Palembang, Sumatera dan daratan Malaka; Jabarantas, guru suci yan berpakaian compang-camping);
4) Prabu Satmata (Gusti yang nampak oleh mata; nama yang muncul dari keadaan kasyf atau mabuk spiritual; juga nama yang diperkenalkan kepada murid dan pengikutnya. Nama ini juga dipakai oleh Sunan Giri);
5) Syekh Lemah Abang atau Lemah Bang (gelar yang diberikan masyarakat Lemah Abang, suatu komunitas dan kampung model yang dipelopori Syekh Siti Jenar);
6) Syekh Siti Jenar (nama filosofis yang menggambarkan ajarannya tentang sangkan-paran, bahwa manusia secara biologis hanya diciptakan dari sekedar tanah merah, dan selebihnya adalah ruh Allah; juga nama yang dilekatkan oleh Sunan Bonang ketika memperkenalkannya kepada dewan wali, pada kehadirannya di Jawa Tengah/Demak; juga nama dalam Babad Cirebon);
7) Syekh Nurjati atau Pangeran Panjunan atau Sunan Sasmita (nama dalam Babad Cirebon S.Z. Hadisutjipto);
8) Syekh Siti Bang, serta Syekh Siti Brit; Syekh Siti Luhung (nama-nama yang diberikan masyarakat Jawa Tengahan);
9) Sunan Kajenar (dalam sastra Islam-Jawa versi Surakarta, era R.Ng. Ranggawarsita [1802-1873]);
10) Syekh Wali Lanang Sejati;
11) Syekh Jati Mulya;
12) Susuhunan Binang; dan
13) Syekh Sunyata Jatimurti Susuhunan ing Lemah Abang, alias Sunan Lemah Abang.
Dan karena surga serta neraka itu adalah untuk derajat fisik, maka keberadaan surga dan neraka adalah di dunia ini, sesuai pernyataan populer, bahwa:
Secara makrifat, hadits tersebut dapat dimaknai bahwa kehidupan surga dan neraka sudah dialami manusia sejak di alam dunia ini. Menurut Syekh Siti Jenar, dunia adalah neraka bagi orang yang menyatu-padu dengan Tuhan. Setelah meninggal, ia terbebas dari belenggu wadag-nya, dan bebas bersatu dengan Tuhan. Di dunia manunggalnya hamba dengan Tuhan sering terhalang oleh badan biologis, yang disertai nafsu-nafsunya. Itulah inti makna nama Syekh Siti Jenar. Tentu saja kita juga tidak menafikan pendapat ahli syarti’at yang memberikan makna atas hadits tersebut secara agak berbeda, bahwa kesenangan kaum beriman di dunia ini sangat terbatasi oleh syari’at keagamaan. Sedang secara hakekat, kesenangan hamba di dunia ini adalah ketika berhasil mengendalikan nafsu dan menemukan kondisi kebersamaan dengan Allah, itulah puncak kebahagiaan.
Selama ini, silsilah Syekh Siti Jenar masih sangat kabur. Hal ini dikarenakan beberapa sebab pokok. Pertama, minimnya catatan sejarah di seputar kehidupan para wali penyebar Islam di Jawa, apalagi sumber historis Syekh Siti Jenar, yang sejak awal kehadirannya, sudah dicoba untuk dihilangkan jejaknya, karena faktor politis. Kedua, umumnya peneliti dan pencatat sejarah belum memandang kehadiran Syekh Siti Jenar sebagaimana pandangannya pada tokoh wali yang lain, dikarenakan image awal mengenai kesesatan Syekh Siti Jenar.
Dan ketiga, pengkaburan tentang silsilah, keluarga, dan ajaran Syekh Siti Jenar yang dilakukan oleh penguasa muslim pada abad ke-16 hingga akhir abad ke-17. Bahkan ada yang menyebut berasal dari cacing.
Dalam sebuah naskah klasik, cerita yang masih sangat populer tersebut dibantah secara tegas,
Hanya saja, dalam hal silsilah serta asal keluarganya, juga terdapat kontroversi yang cukup krusial. Paling tidak terdapat beberapa pendapat, yakni: (1) Bahwa Syekh Siti Jenar adalah manusia yang berasal dari jelmaan cacing; (2) Syekh Siti Jenar adalah putra dari Resi Bungsu, trah keluarga Kerajaan Pajajaran; (3) Syekh Siti Jenar adalah R. Abdul Jalil salah satu dari putra Sunan Ampel; dan (4) Syaikh Siti Jenar aslinya berdarah Arab-Malaka yang kemudian lahir dan menetap di Cirebon. Dari sini kemudian juga memunculkan asumsi bahwa (5) Syekh Siti Jenar adalah orang yang asli Jawa.
Teori yang pertama, bahwa Syekh Siti Jenar berasal dari jelmaan cacing banyak terdapat dalam buku-buku kisah tentang Syaikh Siti Jenar. Secara biologis hal ini tidaklah mungkin terjadi. Jika secara simbolis memang dapat diterima, dengan makna: (1) Bahwa Syaikh Siti Jenar mengajarkan konsep teologi tanah tentang jiwa manusia, dan mengingatkan asal-usul manusia yang secara wadag hanyalah berasal dari anasir tanah coklat. Sehingga yang perlu mendapatkan prioritas penjagaan adalah segmen ruhani dan jiwanya, yang pasti akan kembali kepada Allah; (2) Syaikh Siti Jenar dipandang sebagai salah seorang sufi malamatiyah, sebagaimana ajaran Syaikh Ibn ’Athaillah al-Sakandari untuk menguburkan wujudnya sedalam-dalamnya di kedalaman bumi, yakni agar selalu dapat bersama Allah, maka ia ikhlas serta tawakkal serta ridha menerima bentuk ujian fisik yang seperti apapun sebagai kehendak Allah bagi kekasihnya. Sehingga berbagai fitnah keji, penderitaan fisik dan sebagainya mesti dialami dengan hati yang sumarah.
Selain itu, bahwa istilah berasal dari cacing, bisa difahami sebagai cacing penghuni tanah subur. Tanah yang subur akan mengandung materi cacing, dimana cacing pada gilirannya akan menyuburkan tanah. Hal ini bisa diibaratkan dengan Syaikh Siti Jenar dengan ajarannya. Syaikh Siti Jenar dalam dakwahnya berusaha untuk “membumikan al-Qur’an” yang difahami isinya, diamalkan sebagai perilaku, dan menyatupadu dengan kehidupan umat Islam. Syaikh Siti Jenar menjadikan al-Qur’an sebagai kitab suci yang elegan, yang selalu sesuai dengan zaman dan tempat dimana kitab itu berada, tidak terpaku darimana kitab itu turun dan berbahasa apa. Sehingga Islam kultural ini menjadi lebih ”njawani” dan “mbatini”. Menjadi ”Islam” dalam konteks Syaikh Siti Jenar bisa dalam dua bentuk: ”Islam” formal keagamaan, dan juga ”Islam” sebagai sikap batin, yakni ”orang yang berpasrah diri kepada Tuhan” karena menyadari sangkan dan paran, serta dapat ”menyesuaikan diri” dengan kemauan, kehendak dan takdir Tuhan.
Teori kedua, bahwa Syaikh Siti Jenar adalah putra dari Resi Bungsu dari Pakuwon Cirebon. Hal ini sebenarnya merupakan bentuk kesimpang siuran nama dan pengasuh. Kebetulan masa kecil beliau adalah San Ali. Ini mirip dengan nama lain dari Pangeran Anggaraksa putra Resi Bungsu yakni Hasan Ali. Kebetulan Resi Bungsu pernah menjadi orang tua asuh atau orang tua angkat dari San Ali, karena sejak lahir, Syekh Siti Jenar memang sudah berada dalam keadaan yatim.
Teori ketiga, bahwa Syekh Siti Jenar adalah R. Abdul Jalil salah satu dari putra Sunan Ampel. Sebagaimana diketahui, bahwa Sunan Ampel memiliki tiga orang istri dengan 21 orang anak. Salah satu dari anaknya adalah yang diberi nama dan julukan Syaikh Maulana R. Abdul Jalil Asmoro, yang dimakamkan di Jepara (komplek makam Kalinyamat). Ia terlahir dari istri Sunan Ampel Nyi Ageng Manila, putri dari Sayid ’Abdurrahman (Gan Eng Cu) atau Arya Teja, yang berdarah Campa atau Malaka. Di lingkungan para habaib serta sayid, R. Abdul Jalil dikisahkan semula menganut faham wujudiyah, sehingga oleh Sunan Ampel diperintahkan untuk pergi ke arah Barat, yang memiliki latar belakang tradisi dan teologi yang agak sejalan dengan paham tasawufnya. Maka R. Abdul Jalil kemudian mengembara hingga sampai ke Timur Tengah, kembali ke Jawa dan keliling sebagai da’i kelana di tanah Jawa, yang akhirnya setelah wafat dimakamkan di Jepara. Karena keyakinannya yang sedikit berbeda dengan Sunan Ampel, maka kemudian dalam silsilahnya memakai nama-nama yang disamarkan, dimana nama Datuk Shalih tidak lain adalah nama alias dari Sunan Ampel, dengan mengacu pada muridnya yang terkasih, Mbah Sholeh (yang diriwayatkan meninggal hingga 9 kali). Kemudian Datuk Isa Tuwu adalah nama alias dari Maulana Ibrahim Asmoro, dimana dalam kisahnya memang Maulana Ibrahim Asmoro pernah menetap di Malaka, dan kemudian pergi ke Jawa. Sedangkan dalam silsilah para wali, antara Datuk Isa Tuwu dengan Maulana Ibrahim Asmoro adalah sama-sama keturunan Syaikh Ahmad Syah Jalaluddin, walaupun untuk Ibrahim Asmoro melalui satu generasi lagi, yakni Jamaluddin al-Husain Penembahan Juumadil Kubra. Dari galur inilah dapat dketahui bahwa Syaikh Siti Jenar atau R. Abdul Jalil masih keturunan dari pendakwah besar Syaikh Ahmad al-Muhajir yang menjadi moyang bagi para habaib dan sayid di Asia.
Jika dirunut ke atas, silsilah Syekh Siti Jenar berpuncak pada Sayidina Husain bin ‘Ali bin Abi Thalib, menantu Rasululah. Dari silsilah yang ada, diketahui pula bahwa ada dua kakek buyutnya yang menjadi mursyid thariqah Syathariyah di Gujarat yang sangat dihormati, yakni Syekh Abdullah ’Azamat Khannuddin dan Syekh Ahmad Syah Jalaludin. Ahmad Syah Jalaluddin setelah dewasa pindah ke Kamboja dan menjadi penyebar agama Islam di sana.
Teori keempat, Syaikh Siti Jenar aslinya berdarah Arab-Malaka yang kemudian lahir dan menetap di Cirebon. Sebagaimana sudah disinggung, bahwa Syaikh Siti Jenar adalah San Ali atau sewaktu berada di Malaka ia diberi nama Syaikh Abdul Jalil, adalah putra dari Syaikh Datuk Shalih bin Syaikh Datuk Isa ‘Alawi bin Ahmadsyah Jamaludin Husain bin Syekh ‘Abdullah Khannuddin bin Syekh Sayid ‘Abdul Malik al-Qazam. Maulana ‘Abdullah Khannudin adalah putra Syekh ‘Abdul Malik atau Asamat Khan. Nama terakhir ini adalah seorang Syekh kalangan ‘Alawi kesohor di Ahmadabad, India, yang berasal dari Hadramaut. Qazam adalah sebuah distrik berdekatan dengan kota Tarim di Hadramaut. Adapun Syekh Maulana ‘Isa atau Syekh Datuk ‘Isa putra Syekh Ahmadsyah kemudian bermukin di Malaka.
Karena adanya konflik keagamaan dan politik di Kesultanan Malaka yang tidak kondusif, akibat kemelut kekuasaan pada akhir tahun 1424 M, yakni masa transisi kekuasaan Sultan Muhammad Iskandar Syah kepada Sultan Mudzaffar Syah, maka kemudian Syaikh Datuk Shalih pergi ke Cirebon, dan Syaikh Siti Jenar lahir di Cirebon. Syaikh Datuk Shalih sampai di Cirebon sekitar tahun 1425 dan wafat pada tahun 1426, saat Syaikh Siti Jenar berusia 2 bulan. Sejak itu banyak pihak yang terkait dengan masa kecil hingga remaja Syaikh Siti Jenar, misalnya Pangeran Walangsungsang atau Kyai Samadullah dan Syaikh Datuk Kahfi sebaga gurunya sejak masa kecil.
Saat itu memang di Cirebon terdapat sejenis pondok pesantren di Giri Amparan Jati yang diasuh oleh Syekh Datuk Kahfi, yang telah mampu menjadi salah satu pusat pengajaran Islam, dalam bidang fiqih dan ilmu ‘alat, serta tasawuf. Syaikh Siti Jenar nyantri di tempat tersebut sampai berusia 20 tahun, yang kemudian dilanjutkan dengan pengembaraan ke berbagai tempat untuk memperdalam ilmu dan spiritualnya. Sampai pada sekitar tahun 1457 M, saat usianya mencapai 31 tahun, Syaikh Siti Jenar menempuh perjalanan dari Bashrah menuju Makkah, dan pada sekitar tahun 1463 M, beliau sudah mulai menetap di Jawa.
Karena Syaikh Siti Jenar lahir dan besar di Cirebon, dan setelah terjun dalam dunia penyiaran Islam, beliau menfokuskan di pulau Jawa, maka hal ini memunculkan teori kelima, bahwa Syekh Siti Jenar adalah orang yang asli Jawa.
Terdapat kontroversi lain yang juga penting, yakni terkait masalah hubungan Syaikh Siti Jenar dengan Walisongo. Hubungan dalam hal ini bisa ditinjau dari tiga sudut pandang. Hubungan geneologis atau nasab, hubungan silsilah keilmuan, maupun hubungan dalam dakwah Islam.
Sayang sekali bahwa masalah ini juga belum mendapatkan porsi perhatian yang seutuhnya dari para pengamat sejarah, peneliti maupun akademisi. Padahal persoalan ini dapat menjadi pintu masuk untuk membahas berbagai hal yang cukup krusial, seperti bagaimana mekanisme pengadilan pada waktu itu, dimana sebagian kisah meriwayatkan bahwa Syaikh Siti Jenar diadili dalam sidang Walisongo?
Akan tetapi belum adanya porsi yang cukup tersebut dapat dimaklumi, karena memang penggambaran dalam berbagai serat, babad dan suluk tentang walisongo juga belum utuh, serta terkadang belum terlepas dari faktor subyektifisme.
Jika analisis nasab dan silsilah yang dikemukakan para ahli benar, maka sebenarnya Syaikh Siti Jenar juga masih termasuk dalam keluarga besar rumpun Walisongo. Kekerabatan terdekat Syaikh Siti Jenar adalah dengan Syaikh Maulana Ishaq, Sunan Ampel, dan Maulana Malik Ibrahim. Mereka sama-sama keturunan ketiga dari Ahmad Syah Jalaluddin.
Syaikh Siti Jenar adalah putra dari Syaikh Shalih al-’Alawi bin Syaikh ’Isa al-’Alawi bin Ahmad Syah Jalaluddin.
Syaikh Maulana Ishaq dan Sunan Ampel adalah putra dari Maulana Ibrahim Asmoro bin Jamaluddin Husain Jumadil Kubro bin Ahmad Syah Jalaluddin.
Adapun Syaikh Maulana Malik Ibrahim adalah putra dari Syaikh Barakat Zainul ’Alam bin Jamaluddin Husain Jumadil Kubro bin Ahmad Syah Jalaluddin.
Syaikh Siti Jenar memiliki anak yang salah satunya adalah Siti Zaenab atau Ratu ’Arofah yang menjadi salah seorang istri dari Sunan Kalijaga. dari pernikahan ini lahirlah Sunan Panggung dan Ratu Mendoko. Ratu Mendoko kemudian diambil istri oleh Pangeran Kebo Kenongo yang melahirkan Mas Karebet Joko Tingkir. Jadi Joko Tingkir itu tidak lain adalah cucu Sunan Kalijaga dan buyut dari Syekh Siti Jenar.
Sunan Kalijaga juga memiliki istri Siti Sarah binti Maulana Ishaq, dan lahirlah R. Umar Said Sunan Muria, yang kemudian menurunkan R. Amir Hasan Sunan Nyamplungan (Karimunjawa). Siti Saroh ini adalah adik dari R. Paku Sunan Giri. Jadi Raden Paku adalah kakak ipar Sunan Kalijaga, yang sama-sama masih keponakan jauh dari Syaikh Siti Jenar.
Sunan Kalijaga juga memiliki istri Siti Sarokah binti Syarif Hidayatullah. Syarif Hidayatullah adalah keturunan keempat dari Syaikh Ahmad Syah Jalaluddin melalui Syaikh Jamaluddin Husain, ’Ali Nurul ’Alam lalu Sayid Abdullah yang kemudian berkedudukan sebagai Sultan Mahmud (ayahanda Syarif Hidayatullah). Dari perkawinan ini lahirlah salah satu putri yakni Kj. Ratu Pambayun yang kemudian menjadi istri Sultan Trenggono.
Sementara Sultan Trenggono sendiri adalah putra dari Raden Fatah dengan Dewi Murtasimah (Nyi Ageng Mendoko) putri dari Sunan Ampel. Istri Raden Fatah berarti juga masih keponakan jauh Syekh Siti Jenar.
Silsilah ini kembali memutar, karena salah satu putri Sultan Trenggono, yakni Ratu Mas Panjang kemudian dinikahkan dengan Jaka Tingkir, dimana Ratu Mas Panjang sebenarnya sama-sama cucu Sunan Kalijaga dari istri yang berbeda.
Salah satu putri Sunan Ampel (kakak dari Dewi Murtasimah istri R. Fatah) yaitu Nyi Ageng Maloka diperistri oleh Sunan Ngudung, dan melahirkan Sunan Kudus. Sunan Ngudung sendiri adalah putra dari Raden Santri Ali Murtadha yang menikah dengan Syarifah Syarah, putri dari Maulana Maqfarah bin Maulana Malik Ibrahim yang masih satu kakek dengan Sunan Ampel sendiri. Jadi Sunan Kudus adalah keponakan dari Sunan Bonang dan Sunan Drajat yang keduanya adalah putra dari Sunan Ampel.
Maulana Malik Ibrahim juga memiliki putra bernama Maulana Makhdar Ibrahim (adik Maulana Maqfarah). Dari Maulana Makhdar Ibrahim ini, kemudian lahirlan tokoh terkenal lain, yaitu R. Fatahillah atau Fadhillah Khan.
Sejauh ini, konsep hubungan nasab dengan silsilah yang memiliki rujukan kuat barulah hal-hal tersebut. Sementara memang ada versi-versi lain, yang untuk sementara waktu sumber rujukannya masih lebih lemah.
Dalam beberapa sastra Jawa pernah disebutkan bahwa Syaikh Siti Jenar pernah datang ke pesantren Giri. hanya mungkin sudut pandang yang diberikan bisa berbeda, karena ada yang menyebutkannya bahwa di Giri ini terjaqdi praktek ilmu sihir dari Syaikh Siti Jenar, karena tidak diizinkan untuk mengaji maktrifat. Dalam kacamata penulis, sebenarnya kedatangan Syaikh Siti Jenar ke Giri nampaknya lebih pada konteks silaturrahim antar ulama dan kerabat, apalagi dalam kekerabatan Syaikh Siti Jenar lebih tua dari Sunan Giri. namun juga tetap dimungkinkan Syaikh Siti Jenar juga ”ngangsu kawruh” dari Sunan Giri yang lebih muda sedikit sebagaimana sahabat Abu Bakar pernah berguru kepada Sayidina ’Ali bin Abi Thalib.
Bisa jadi juga kisah sihir itu terkelirukan dengan santri lain, yakni Ali Anshar yang juga pernah berguru di Giri, namun ditolak oleh Sunan Giri.
Juga terdapat kisah tentang kedatangan Sunan Bonang dengan Sunan Kalijaga ke Cirebon. Kedatangan Sunan Bonang sebenarnya mengantarkan Sunan Kalijaga ke pesantren Amparan Jati, yang semula diasuh oleh Syaikh Datuk Kahfi, dan diteruskan oleh Syaikh Siti Jenar dan kemudian oleh Sunan Gunung Jati. Cuma pas kedatangan tersebut adalah pasca wafatnya Datuk Kahfi dan sebelum tempuk kepemimpinan pesantren dipegang oleh Sunan Gunung Jati. Jadi bertemulkah mereka dengan Syaikh Siti Jenar. Sunan Kalijaga selain menjadi menantu juga pernah menjadi santri Syaikh Siti Jenar.
Disini kemudian ada kisah tentang cacing yang menempel di perahu yang dinaiki Sunan Bonang dan Sunan Kalijaga. yang disebutkan kemudian cacing itu disabda Sunan Bonang menjadi Syaikh Siti Jenar. Lalu ada kisah bahwa cacing itu dahulu adalah putra Resi Bungsu yang disebda ayahnya menjadi cacing. Ada juga kisah bahwa cacing itu memang praktek sihir Syaikh Siti Jenar agar dapat ikut mendengarkan wejangan makrifat Sunan Bonang.
Jika kisah ini benar, kemungkinan tokoh yang disebut Syaikh Siti Jenar tersebut terkelirukan dengan Pangeran Anggaraksa atau Raden Hasan Ali, yang memang tidak lagi diakui sebagai anak oleh Resi Bungsu, akibat memeluk Islam.
Jadi yang terjadi antara Sunan Bonang dengan Syaikh Siti Jenar nampaknya adalah juga jalinan hubungan antar ulama dan kekeluargaan. Cuma seperti layaknya keluarga jauh, maka semula ada yang kenal dan banyak juga yang tidak mengenal diantara keluarga besar. Hal ini nampaknya juga terjadi pada Sunan Bonang dan Sunan Lemahabang itu. Karena sejak pertemuan itu lalu juga dikisahkan, bahwa Sunan Bonang merekomendasikan nama Syaikh Siti Jenar untuk menjadi tim dari Walisongo.
Apakah Syaikh Siti Jenar termasuk dalam kelompok Walisongo? Jawaban atas hal inipun menjadi kontroversi di kalangan para peneliti. Berikut ini penulis kemukakan daftar anggota Dewan Wali (Walisongo) menurut berbagai versi dan Posisi Syekh Siti Jenar dalam keanggotaan kewalian tersebut.
1) Syekh Maulana Malik Ibrahim
2) Raden Rahmat (Sunan Ampel)
3) Raden Paku (Sunan Giri)
4) Syarih Hidayatullah (Sunan Gunung Jati)
5) Makdum Ibrahim (Sunan Bonang)
6) Raden Kasim (Sunan Drajat)
7) Raden Syahid (Sunan Kalijaga)
8) Ja’far Shadiq (Sunan Kudus)
9) Raden Prawata (Sunan Muria)
Menurut CPCN yang diterbitkan oleh Atja (1986) bagian ke-29, para wali yang ada di tanah Jawa adalah (dalam Dadan Wildan, 2003; 36):
1) Syekh Bentong.
2) Sunan Ampel.
3) Sunan Bonang.
4) Sunan Gunung Jati.
5) Sunan Giri.
6) Sunan Kalijaga.
7) Sunan Muria.
8) Syekh Lemahabang.
9) Sunan Kudus.
10) Sunan Drajat.
Dalam Babad Tanah Sunda karangan Pangeran Sulaiman Sulendraningrat bagian ke-30 dan ke-34, Walisongo yang disebutkan (1982) adalah:
1) Sunan Ampel.
2) Sunan Gunungjati.
3) Sunan Maulana Maghribi.
4) Sunan Bonang.
5) Sunan Undung.
6) Sunan Kalijaga.
7) Sunan Muria.
8) Syekh Lemahabang.
9) Syekh Bentong.
10) Syekh Majagung.
11) Sunan Kudus.
12) Sunan Drajat.
Dalam Babad Cerbon terbitan Brandes (1911) ini, nama-nama Walisongo dicantumkan dalam Pupuh 14-15. Mereka adalah:
1) Sunan Bonang.
2) Sunan Ampel.
3) Masyeh Munat Sunan Drajat.
4) Sunan Giri Gajah.
5) Sunan Kudus.
6) Sunan Kalijaga.
7) Syekh Majagung.
8) Maulana Maghrib.
9) Syekh Bentong.
10) Syekh Lemahabang.
11) Sunan Gunung Jati.
1) Maulana Maghribi
2) Sunan Giri
3) Sunan Gunung Jati
4) Sunan Drajat
5) Sunan Bentong
6) Sunan Bonang
7) Sunan Kudus
8) Pangeran Majagung
9) Syekh Siti jenar
1) Sunan Gunung Jati
2) Sunan Ampel
3) Sunan Bonang
4) Sunan Drajat
5) Sunan Kalijaga
6) Sunan Giri
7) Sunan Kudus
8) Sunan Muria
9) Syekh Siti Jenar (Syekh Lemah Abang)
1) Sunan Ampel (diteruskan oleh Sunan Giri)
2) Syekh Maulana Maghrib
3) Sunan Bonang
4) Sunan Undung/Ngudung (setelah wafat diteruskan oleh putranya Sunan Kudus)
5) Sunan Muria
6) Sunan Kalijaga
7) Syekh Lemah Abang
8) Syekh Bentong
9) Syekh Majagung
Para wali tanah Jawa menurutn naskah ini –sebagaimana dikutip Dadan Wildan (2003; 126) adalah:
2) Syekh Sultan Giri Gajah.
3) Syekh Kamarullah Kanjeng Sunan Bonang.
4) Ki Cakrabuana Sunan Jelang.
5) Syekh Bentong.
6) Syekh Nusakambangan Sunan Kudus.
7) Pangeran Kendal Sunan Kedaton.
8) Pangeran Panjunan Sunan Sasmita.
9) Pangeran Kajoran Sunan Kejamus.
10) Suhunan Adi Suhunan Kalijaga.
1) Sunan Ampel
2) Sunan Bonang
3) Sunan Undung (setelah wafat diteruskan oleh Sunan Kudus)
4) Sunan Giri
5) Sunan Kalijaga
6) Sunan Muria
7) Syekh Lemah Abang
8) Syekh Bentong
9) Syekh Majagung
1) Syekh Siti Jenar
2) Susuhunan Kalijaga
3) Susuhunan Giri
4) Susuhunan Geseng
5) Pangeran Modang
6) Susuhunan Ngampel
7) Pangeran Ngudung
8) Susuhunan Prawata
9) Susuhunan Maulana Maghribi
Periode I (1404 M)
1) Syekh Maulana Malik Ibrahim (ahli tata negara), wafat di Gresik tahun 1419.
2) Syekh maulana Ishaq dari Samarkand (tabib), dari Jawa pindah ke Pasai.
3) Maulana Jumadil Kubro dari Mesir, dimakamkan di Troloyo-Mojokerto.
4) Maulana Muhammad al-Maghribi, Maroko (Sunan Geseng), makam di Jatinom-Klaten tahun 1465.
5) Maulana Malik Isro’il, makam Gunung Santri antara Serang-Merak (1435).
6) Maulana Muhammad Ali Akbar, Persia, tabib, makam Gunung Santri 1435.
7) Maulana Hasanuddin. Makam Masjid Banten Lama, 1462.
8) Maulana Aliyuddin, palestina, dakwah keliling, 1462, masjid Banten lama.
9) Syekh Subakir, Persia, ahli tumbal tanah angker, penakluk Jin, beberapa waktu di Jawa, kembali dan wafat di Persia 1462.
Dewan Walisongo II, 1436
10) Raden Rahmat Ali Sunan Ampel, datang 1421 mengganti Malik Ibrahim.
11) Sayid Ja’far Shadiq Sunan Kudus, datang 1436 mengganti Malik Israil.
12) Syarif Hidayatullah, tahun 1436 mengganti Ali Akbar.
Dewan Wali III 1463
13) Raden Paku Sunan Giri
14) Raden Syahid Sunan Kalijaga mengganti Syekh Subakir
15) Raden Makdum Ibrahim Sunan Bonang mengganti maulana Hasanudin
16) Raden Qasim Sunan Drajat mengganti Aliyuddin
Dewan Wali IV 1466
17) Raden Fatah (1462 menjadi adipati Bintoro, 1465 membangun masjid Demak, dan 1478 menjadi raja) mengganti Ahmad Jumadil Kubro.
18) Fathullah Khan, putra Sunan Gunung Jati, menmgganti Al-Magharibi.
Dewan Wali V mulai 1476
19) Raden Umar Sahid Sunan Muria
20) Syekh Siti Jenar/Syekh Lemah Abang, dikeluarkan dan dihukum mati
21) Sunan Tembayat menggantikan Syekh Siti Jenar
a. Terhadap periodesasi serta segala hal yang tercantum dalam apa yang disebut sebagai Kitab Kanzul Ulum Ibn Bathutah tersebut, perlu dikemukakan berbagai catatan kritis, tentang otentisitas dan keakuratan data dalam kitab, yang sering dijadikan acuan dalam penulisan sejarah Walisongo di Indonesia tersebut. Karena Ibn Batutah hidup antara tahun 1304-1377 M (Ensiklopedi Islam, 3: 71). Bagaimana mungkin Ibn Batutah yang wafat tahun 1377 M memberitakan peristiwa antara tahun 1404 hingga 1476? Apalagi dalam buku-buku yang berisi kisah lengkap perjalanannya tidak pernah ada yang menyebutkan bahwa Ibn Batutah pernah singgah di pulau Jawa. Apa yang disebut sebagai ”Jawa” oleh Ibn Batutah adalah pulau Sumatra, karena memang pada zaman pertengahan keseluruhan kepulauan Nusantara, termasuk Filipina disebut sebagai ”Pulau Jawa yang menghijau”. Ibn Batutah yang ”menetap di Jawa” selama 15 hari tersebut disambut di pelabuhan Samudera Pasai, dan sempat mengikuti upacara bersama Sultan Mahmud al-Malikudz Dzahir (1326-1345 M). Dari Sumatera ia meneruskan perjalanan ke Cina dan menyempatkan diri mampir di ”Mul Jawa” (yakni pedalaman Sumatera), dan ketika perjalanan pulang ia kembali singgah sebentar di ”Pulau Jawa” yang menyaksikan Sultan Mahmud baru pulang dari perang dengan membawa harta rampasan yang cukup banyak. (Perhatikan: Talal Harb, Rihlah Ibn Batutah al-Musammah Tuhfah an-Nadzdzar fi Ghara-ib al-Amsar wa ‘Aja-ib al-Asfar, 1987; I. Hrbek, The Chronology of Ibn Batuta’s Travels, 1962).
b. Apa yang disebut sebagai Kitab Kanzul Ulum Ibn Bathutah tersebut oleh buku-buku sejarah yang beredar di Indonesia, disebut-sebut tersimpan di salah satu meseum Turki. Para pakar sejarah memang menyebutkan bahwa Ibnu Bathutah pernah melakukan muhibbah sebagai utusan Sultan Delhi ke Nusantara (yakni Sumatera dan Filipina) dan Tiongkok. Namun muhibbah tersebut dilakukan pada tahun 1345 M (Soekmono,1981: 3/44). Ibn Batutah sendiri hidup pada 703 H/1304 M sampai 779 H/1377 M. Jika memang kitab tersebut ditulis berdasarkan pengamatan dalam pelayarannya, bagaimana mungkin bisa menjelaskan bahwa pada tahun 1404 M sampai tahun 1476, para ulama dari Maghrib datang di nusantara? Pada tahun 1476 itu sendiri, Ibnu Bathutah sudah wafat sejak 100 tahun sebelumnya.
c. Berita yang disandarkan kepada Ibnu Bathuthah tersebut, dalam segi perhitungan angka tahun dan periodesasi sejarah para wali, tidak bisa dijadikan pedoman, karena informasi yang ada, banyak bertentangan dengan sejarah pada umumnya. Misalnya bahwa Maulana Makhdum Ibrahim Sunan Bonang, diberitakan menggantikan Maulana Hasanudin yang wafat tahun 1462. Padahal kelahiran Sunan Bonang, baru pada sekitar tahun 1465. Sementara itu, seperti di infornmasikan dalam Purwaka Caruban Nagari, maulana Hasanudin sekitar tahun 1525 masih melakukan penyerbuan ke Banten-Hindu. Juga berita bahwa Raden Fatah mendirikan masjid tahun 1465 bertentangan dengan data sejarah yang masyhur, bahwa masjid Demak didirikan sekitar tahun 1399 C/1477 M, dan induk bangunan serta pengimaman didirikan bari pada tahun 1428 C/1506 M. Ibnu Bathuthah juga mengkabarkan bahwa Sunan Drajat menggantikan Maulana Israil yang wafat tahun 1462. Padahal Raden Qasim Sunan Drajat baru lahir tahun 1470, dan wafat tahun 1522. Syarif Hidayatullah juga dikabarkan menjadi anggota Dewan Wali tahun 1436 mengganti Ali Akbar. Sementara dalam berbagai catatan tarikh, ia baru lahir tahun 1448, dan wafat tahun 1570. Jadi keseluruhan angka tahun dalam catatan Kitab yang dinisbahkan kepada Ibnu Bathuthah itu, adalah tidak tepat.
d. Melihat perbandingan-perbandingan di atas, nampak bahwa nama Syekh Siti Jenar, secara obyektif tetap termasuk auliya’ di Jawa. Jika pada anggapan umum, namanya tidak dimasukkan sebagai wali, hal ini dikarenakan dalam karya-karya sastra-Jawa sejak abad ke-17, terjadi reduksionisme besar-besaran dalam sejarah dewan wali Demak, yang berawal dari tindakan kerajaan Demak dalam memusuhi Syekh Siti Jenar dan ajarannya. Akibatnya adalah, bahwa nama Walisongo menjadi popular dengan sangat harumnya, sementara nama Syekh Siti Jenar dipinggirkan dan dituduh sebagai biang kerok “kesesatan”.
1) Raden Rahmat Sunan Ampel (Ampel Surabaya)
2) Raden Paku Sunan Giri (Gresik)
3) Sayid Zen Raden Abdul Qodir Sunan Gunung Jati (Cirebon)
4) Raden Makdum Ibrahim Sunan Bonang (Tuban)
5) Maseih Munat Raden Qasim Sunan Drajat (antara Tuban-Sedayu)
6) Raden ‘Alim Abu Huraerah Sunan Majagung (Mojoagung)
7) Raden Undung Ja’far Shadiq Sunan Kudus (Kudus)
8) Raden Syahid Sunan Kalijaga (Indramayu/Kadilangu)
b. Nama-nama yang belum disepakati sejarawan dalam keanggotaan di dewan Walisongo
1) San Ali Raden Abdul Jalil Syekh Siti Jenar (Cirebon, Jepara, Kediri).
2) Syekh Sabil Usman Haji Sunan Ngudung (Ngudung, Jipang Panolan, Jepara)
3) Raden Santri ‘Ali Sunan Gresik (Gresik)
4) Raden Umar Said Sunan Muria (di Muris, Jepara)
5) Raden Sayid Muhsin Sunan Wilis (Cirebon)
6) Raden Haji Usman Sunan Manyuran (Mandalika)
7) Raden Fatah Sunan Bintara (Demak)
8) Raden Jakandar Sunan Bangkalan (Madura)
9) Khalif Husein Sunan Kertosono
10) Ki Ageng Pandanarang Sunan Tembayat (Tembayat, Klaten)
11) Ki Cakrajaya Sunan Geseng (Lowano-Purworwjo)
12) Sunan Giri Perapen
13) Sunan Padhusan
Ada dua peringkat kewalian yang ditetapkan stratifikasinya oleh dewan Walisongo di Demak, yaitu wali-songo dan wali-nukba/wali nawbah; wali yang sebenarnya dan wali pengganti, atau wali magang (pada masa Walisongo masih lengkap).
1) Raden Rahmat Sunan Ampel (Ampel Surabaya)
2) San Ali Raden Abdul Jalil Syekh Siti Jenar (Cirebon, Jepara, Kediri).
3) Raden Paku Sunan Giri (Gresik)
4) Sayid Zen Raden Abdul Qodir Sunan Gunung Jati (Cirebon)
5) Raden Makdum Ibrahim Sunan Bonang (Tuban)
6) Maseih Munat Raden Qasim Sunan Drajat (antara Tuban-Sedayu)
7) Raden ‘Alim Abu Huraerah Sunan Majagung (Mojoagung)
8) Raden Undung Ja’far Shadiq Sunan Kudus (Kudus)
9) Raden Syahid Sunan Kalijaga (Indramayu/Kadilangu)
10) Raden Umar Said Sunan Muria (di Muris, Jepara)
1) Sunan Tembayat
2) Sunan Giri Perapen
3) Pangeran Wujil (Kadilangu)
4) Pangeran Kewangga
5) Ki Gedhe Kenanga atau Ki Ageng Pengging
6) Pangeran Konang
7) Pangeran Cirebon (murid Siti Jenar)
8) Pangeran Karanggayam
9) Ki Ageng Sela
10) Pangeran Panggung
11) Pangeran Surapringga
12) Ki Ageng Juru Martani
13) Ki Ageng pemanahan
14) Ki Buyut Pangeran Sabrang Kulon
15) Ki Gede Wonosobo
16) Panembahan Palembang
17) Ki Ageng Majasta
18) Ki Ageng Geribig
19) Ki Buyut Banyubiru
20) Ki Ageng Karotangan
21) Ki Ageng Toyajene
22) Ki Ageng Tayreka
23) Kanjeng Sultan Agung Hanyokrokusumo
1) Wali-wali yang tergolong wali naubah, umumnya adalah murid dan santri dekat, atau penganut ajaran Syekh Siti Jenar. 16 dari daftar nama wali-nawbah tersebut (73%) tercatat sebagai murid dan penganut ajaran Syekh Siti Jenar.
2) Dalam kepustakaan keraton Surakarta dan Yogyakarta, secara umum, Syekh Siti Jenar ditempatkan sebagai wali quthub, dan wali yang memiliki pengaruh serta peranan paling menonjol diantara para wali yang ada. Sementara dalam naskah-naskah resmi dari Demak, Sunan Kalijagalah yang menempati posisi tersebut. Naskah dari Gresik (Giri) menempatkan Sunan Giri sebagai Prabu Satmata, dan naskah-naskah baru dari Cirebon menempatkan posisi Sunan Gunung Jati pada posisi terpenting.
3) Berdasarkan hal-hal tersebut, nampaknya studi yang komprehensif perlu dilakukan, dengan tujuan utama merekonstruksi sejarah para wali tanah Jawa, serta sejarah Islam Indonesia pada proporsi yang sebenarnya.
Pada masa awal penyiaran Islam di Cirebon, terdapat dua santri unggulan yang dibina Syekh Siti Jenar, yaitu Raden Qasim bin Ali Rahmatullah, dan Raden Sahid bin Arya Shidiq bupati Tuban, sebagaimana diceritakan dalam beberapa naskah Cirebon. Menurut beberapa riwayat Jawa Tengah, yang membawa dan mengantar Raden Sahid dan Raden Qasim ke Cirebon tidak lain adalah Sunan Bonang. Pada saat itu, pesantren Cirebon tersebut berada pada tahapan “transisi” setelah wafatnya Syekh Datuk Kahfi, dan belum diasuh oleh Sunan Gunung Jati. Diduga pada tahapan transisi inoilah pesantren tersebut diasuh oleh Syaikh Siti Jenar sebagai salah satu santri kinasih Syekh Datuk Kahfi.
Dalam Carita Purwaka Caruban Nagari (bagian XXXI) hanya disebutkan bahwa Sunan Kalijaga bersahabat dengan Syekh Lamahabang. Sedang gurunya hanya Sunan Bonang dan Sunan Gunung Jati. Padahal antara Sunan Kalijaga dan Sunan Gunung Jati sebaya, dan menuntut ilmu pada masa yang sama, termasuk ketika nyantri di padepokan Syekh Datuk Kahfi (dan Syekh Siti Jenar). Sedangkan naskah yang menyatakan Sunan Gunung Jati sebagai santri Syekh Siti Jenar antara lain Wejangan Sunan Gunung Jati, Pupuh 15 Sinom, bait 1-20; Babad Cirebon S.Z. Hadisutjipto, Pupuh 16 Sinom, bait 1-26. Bahkan secara lebih tegas dinyatakan dalam Carub Kanda, pupuh ke-15 Kinanti, bait 15-23 dan Pupuh ke-16 Sinom, bait 1-20.
Dalam konteks ini, membahas darimana Syekh Siti Jenar memperoleh ilmu keagamaannya menjadi penting.
Dari segi ajaran, sufisme wujudiyah tidak lepas dari mata rantai Manshur al-Hallaj hingga Abu Yazid Thayfur bin ’Isa al-Busthami hingga Syaikh Imam Abu al-Qasim al-Junayd bin Muhammad bin al-Junayd al-Baghdadi (w.910 M), yang menjadi titik temu dari berbagai mata rantai ilmu tasawuf, baik tarekat maupun filsafat.
Junayd al-Baghdadi diantaranya memiliki dua orang murid yang sama-sama beraliran sufisme wujudiyah, walaupun berbeda dalam keberanian ekspresinya, yaitu Ibn Manshur al-Hallaj (w. 922 M), dan Abu Bakar bin Dulaf bin Jahdar al-Syibli (w. 945). Manshur al-Hallaj sendiri memiliki sikap berbeda dalam ekspresi mistik, karena selain kepada al-Junayd al Baghdadi, al-Hallaj juga berguru kepada Abu Muhammad bin Sahl bin ’Abdallah al-Tustari dan ’Amr bin ’Utsman al Makki, yang mewariskan keberanian ekspresif tentang mistik. Sementara al-Syibli hanya berguru kepada Junayd yang lebih bersifat tenang dan lunak.
Umumnya, hampir sebagian besar silsilah sufi memakai jalur Abu Bakar al-Syibli, untuk menghindari resiko sebagaimana dialami oleh al-Hallaj. Secara kebetulan, sewaktu di Gujarat, Baghdad, Damaskus, Basyrah dan Makkah, Syekh Siti Jenar menjalin kontak keilmuan dengan para ulama yang memiliki jalur silsilah spiritual dari Junayd al-Baghdadi, baik dari jalur Manshur al-Hallaj, maupun dari jalur Abu Bakar al-Syibli.
Sebagaimana diketahui, Junaid al-Baghdadi memiliki dua orang murid, yakni Abu Manshur al-Hallaj (yang juga murid Sahl al-Tustari dan Abu ’Amr al-Makki) dan Abu Bakar al-Syibli. Al-Hallaj memiliki murid Ibn Khalaf al-Syirazi.
Al-Syirazi dan al-Syibli bersama-sama memiliki murid Abu al-Qasim Ibrahim al-Nasrabadi (w. 979), kemudian berturut-turut kepada Abu ‘Ali al-Daqqaq (w. 1016), Abu al-Qasim al-Qusyairi (w. 1074), Abu ‘Ali al-Farmadi al-Thusi (w. 477/1084), dan kepada mistikus besar Ahmad bun Muhammad al-Ghazali al-Thusi.
Sampai pada silsilah ini, tampak bahwa al-Nasrabadi mewarisi dua jalur sekaligus, yakni dari a-Shirazi murid al-Hallaj, dan dari al-Syibli. Sementara sampai pada ‘Ali al-Farmadzi, juga terdapat jalur lain, yang menyampaikan silsilah keilmuannya kepada Abu Yazid al-Busthami, yang menjadi salah satu murid Syekh Imam Ja’far al-Shadiq, melalui Abu al-Hasan ’Ali al-Kharaqani (w.425/1034).
Syekh Ahmad al-Ghazali, kemudian memiliki empat murid utama, yang kemudian menjadi sumber dari beberapa tarekat besar. Dua orang murid Ahmad al-Ghazali, yakni ‘Ain al-Quddat al-Hamadani (w. 525/1131), dan Abu al-Najib al-Suhrawardi (w.563/1168) bersama-sama menjadi guru dari Abu Hafs al-Suhrawardi Syaikh al-Isyraq al-Maqtul (w. 632/1234). Murid ketiga Ahmad al-Ghazali, Abu Fadhl al-Baghdadi menjadi guru Abu al-Barakat, yang menurunkan silsilah kepada Yunus al-Shaibani (w. 1222) dan menjadi jalur silsilah dari Sa’d al-Din Jibawi (w. 1335). Adapun murid keempat, Ahmad al-Khatibi al-Nalkhi menurunkan silsilah berturut-turut kepada Husain Jalal al-Din , Baha’ al-Din M. Walad (w.1231), Burhan al-Din Muhaqqiq al-Tirmidzi, yang menurunkan silsilah kepada sufi besar Jalal al-Din al-Rumi (1207-1273).
Sebagaimana diketahui, dari Hafs al-Suhrawardi kemudian memunculkan tarekat Suhrawardiyyah. Sementara Abu al-Najib al-Suhrawardi, selain memiliki siswa dan anak Abu Hafs juga memiliki murid Isma’il al-Qasri, dan memiliki anak Najm al-Din Kubra (w.618/1221) yang memunculkan tarekat Kubrawiyyah. Sa’d al-Din al-Jibawi memunculkan tarekat Jibawiyyah-Sa’diyyah. Dari Abu al-Fadhl juga kemudian memunculkan tokoh Nur al-Din Muhammad Ni’matallah Wali (w.834/1431) yang memunculkan tarekat Ni’matallahiyyah. Dan Rumi memunculkan tarekat Mawlawiyyah. Di kemudian hari, dari jalur Rumi dan al-Suhrawardi inilah, Syekh Siti Jenar mendapakan silsilah ilmu makrifat atau ijazah dan khirqa’ sufiyahnya.
Shihab al-Din Abu Hafs ‘Umar al-Suhrawardi (w. 632/1234) diantaranya memiliki dua murid utama Najib al-Din ‘Ali b. Buzghush (w. 678/1279) dan Najm al-Din Muhammad b. Isra’il (w. 1278).
Najib al-Din ‘Ali menurunkan mata rantai silsilah kepada Nur al-Din ‘Abd al-Shamad al-Natanzi, Husain Husam al-Din al-Shamshari, Jamal al-Din Yusuf al-Ghurani, Nur al-Din ‘Abd al-Rahman al-Mishri, dan lalu ke Zain al-Din Abu Bakar al-Tabrizi (1356-1435).
Adapun Najm al-Din Muhammad menurunkan mata rantai silsilah kepada Jalal al-Din Shah al-Bukhari (1192-1291), Ahmad al-Kabir, Jalal al-Din Husain b. Ahmad Kabir (1308-1384), Syaikh Al-Makhdumi, Abu Muhammad ‘Abdallah: Burhan al-Din Quthbi ‘Alam al-Gujarati (w. 1453), lalu kepada Muhammad Shah ‘Alam al-Gujarati (w. 1475). Ulama terakhir inilah yang pernah menjadi guru dan memberikan khirqa’ sufi kepada Syaikh ‘Abdul Jalil sewaktu singgah di Gujarat, pada sekitar tahun 1463, dalam perjalanan pulang dari Makkah, ketika tinggal beberapa minggu di Gujarat.
Melalui sejarah sufisme juga dapat diketahui bahwa Ahmad Abu Hamid al-Ghazali dan Yusuf ibn Ayub al-Hamdani (w. 535/1140) mendapatkan pendidikan dan ijazah sufistik dari Abu Bakar al-Nassaj dan Abu ‘Ali al-Farmadzi. Khusus untuk Yusuf ibn Ayub al-Hamdani, juga mendapakan pendidikan dari ‘Abdallah al-Anshari al-Harawi (w. 481/1089) yang bersama ‘Ali al-Farmadzi mendapakan pendidikan dari Abu al-Hasan ‘Ali al-Kharaqani. Dari jalur Yusuf ibn Ayub al-Hamadani ini, kemudian muncul tokoh Baha’ al-Din al-Naqsyabandi (w. 1389), pencetus tarekat Naqsyabandiyah yang salah satu pengikutnya adalah Syekh ‘Abd al-Rahman al-Jami’ (1414-1492), yang sangat mungkin sempat bertemu serta mengajarkan sufisme kepada Syekh Siti Jenar di Baghdad (rincian silsilah terlampir).
Terdapat jalur lain yang menghubungkan silsilah spiritual Syaikh Siti Jenar kepada Manshur al-Hallaj dan Abu Bakar al-Syibli yang bertemu pada Jalaluddin Rumi.
Dari al-Syibli kepada Ruzbihan Baqli, ke al-Kalabadzi, kepada Abu Nu’aiym al-Isfahani, kepada Abu al-Majid Majdul al-Sana’i (w. 1131), …., kepada Yahya Suhrawardi al-Maqtul (Syaikh al-Isyraq, 1153-1191), …., kepada Syamsi Tabriz, kepada Maulana Jalaluddin Rumi.
Juga Dari al-Syibli kepoada Abu al-Qasim al-Jurjani, kepada Abu Bakar al-Nassaj & ‘Ali al-Farmadzi, kepada Imam Ahmad al-Ghazali, kepada Abu al-Najib al-Suhrawardi, kepada ’Ammar al-Bidlisi & Isma’il al-Qasri, kepada Najm al-Din Kubra (w. 618/1219) kepada Majd al-Din al-Baghdadi (w. 616/1219), kepada Selain silsilah spiritual yang dikemukakan di atas, transformasi spiritual juga diperoleh Syekh Siti Jenar yang menghubungkannya kepada Farid al-Din ’Aththar (w. 1220), dan kepada Jalal al-Din al-Rumi (1207-1273).
Dengan demikian tampak jelas bahwa hubungan Syekh Siti Jenar dengan Manshur al-Hallaj bukan pada model tiruan paham dan pengalaman keagamaannya, akan tetapi memang murni dalam konteks silsilah atau transformasi ilmu makrifat dan khirqa’ serta ijazah spiritual melalui para guru atau mursyid yang autentik.
Dari silsilah di atas juga tampak bahwa pengalaman dan ilmu tasawuf Syekh Siti Jenar mengacu pada aliran al-Junayd al-Baghdadi, yang menjadi rujukan umum hampir semua aliran tasawuf. Hanya saja bedanya dengan aliran-aliran tasawuf, Syekh Siti Jenar menggabungkan mazhab sufi Junayd al-Baghdadi dengan mazhab sufi filosofis Ibn’ Arabi. Sementara tokoh Junayd al-Baghdadi sendiri, yang juga menjadi rujukan sufisme Muhammad al-Ghazali, memiliki jalur silsilah spiritual sampai kepada Nabi Muhammad, melalui beberapa jalur.
Ibn al-’Arabi yang memiliki nama lengkap Syaikh al-Akbar Muhy al-Din Muhammad ibn ‘Ali ibn Muhammad ibn al-’Arabi al-Tha’i al-Haitimi adalah seorang sufi dari Andalusia, yang lahir pada 17 Ramadhan 560 atau 18 Juli 1165 di Murcia Spanyol bagian Tenggara. Ia wafat pada 22 Rabi’ al-Tsani 638 atau November 1240 di Damaskus.
Ibn al-’Arabi memiliki banyak guru spriritual, di antaranya Ibn Qasi (w. 546/1151), Abu Syaja’ Dzahir Ibn Rustam, Ibn al-’As al-Baji, Yahya Ibn Abi ‘Ali al-Zawawi (w. 611/1214) dan guru perempuan Yasamin dan Fathimah. Akan tetapi yang paling banyak mempengaruhinya adalah Ibn Madyan (w. 1197) dari Tlencem melalui Yusuf Ibn Khalaf al-Qumi (w. 1180). Di antara teman diskusinya adalah Ibn Rusyd (w. 595/1199) dab Syihab al-Din ’Umar Suhrawardi, yang bertemu di Baghdad pada tahun 608/1211.
Ibn al-’Arabi memiliki tiga murid utama yang mendapatkan ijazah atau kewenangan langsung dari Ibn al-’Arabi untuk mengajarkan mazhab dan karya-karya pemikiran serta ajarannya. Mereka adalah Al-Malik al-Asyraf Mudzaffar al-Din Musa (ijazah th. 632/1234), Shadr al-Din al-Qunawi, dan Sa’ad al-Din bin Hamyya (w. 1252), yang juga murid al-Qunawi setelah wafatnya Ibn ’Arabi.
Shadr al-Din al-Qunawi merupakan orang pertama yang memperkenalkan istilah wahdat al-wujud bagi ajaran Ibn al-’Arabi, walaupun kemashyuran istilah tersebut baru menyebar cepat karena kecaman-kecaman Ibn Taimiyyah. Al-Qunawilah yang menjadi tokoh paling berjasa dalam proses penyebaran pengaruh ajaran Ibn al-’Arabi, sehingga akhirnya menjadi dominan dalam sejarah perkembangan sufisme di seluruh dunia islam. Al-Qunawi menjadi murid terdekat dan penting dari Syaikh al-Akbar, sekaligus menjadi tokoh pemadu antara sufisme al-’Arabi dengan sufisme Timur.
Al-Qunawi memiliki dua murid yang berperan besar dalam penyebaran ajaran Ibn al-’Arabi, yaitu Mu’ayyad al-Din Jandi (w. 690/1291) dan Sa’id al-Din al-Farghani (w. 700/1301). Al-Farghani selain mengadopsi paham Ibn al-’Arabi juga mempelajari secara seksama ajaran Ibn al-Farid. Selain itu, al-Qunawi juga memiliki seorang murid brilian, yang menyebarkan paham Ibn al-’Arabi melalui karya-karya puisi mistiknya, yaitu Jalal al-Din Rumi, walaupun pertemuan antara keduanya hanya terjadi sebentar.
Sa’ad al-Din bin Hamuyya (w. 1252) merupakan salah satu murid Ibn al-’Arabi, sekaligus murid al-Qunawi. Ia adalah seorang murid dari Najm al-Din Kubra, pendiri tarekat Kubrawiyyah. Ia pernah tinggal di Damaskus dan di sanalah ia bertemu serta berguru kepada Ibn al-’Arabi dan al-Qunawi. Ia memiliki peranan penting dalam penyebaran paham Ibn al-’Arabi melalui muridnya, ‘Aziz al-Din al-Nasafi (w. 700/1300).
Jalaluddin al-Rumi bersama Mu’ayyaduddin Jindi mempunyai murid Shabistari (w. 1311), yang mewariskan ijazah sufiyahnya kepada Sayid ‘Amir al-Kulaly (w. 1390), kepada Syarf al-Din Isma’il Ibn Ibrahim al-Jabarti (w. 806/1401). Guru terakhir inilah yang kemudian menjadi guru seorang sufi besar, Syaikh ‘Abd al-Karim Ibn Ibrahim al-Jilli (w. 826/1422).
Sampai pada Syaikh al-Jilli inilah konsep wujudiyah dalam prototipe al-insan al-Kamil mencapai puncak perumusan teoritis dan praktis. Pada silsilah al-Jilli ini juga dari dua jalur silsilah al-Qunawi dan al-Malik Mudzaffar bertemu, untuk selanjutnya sampai kepada Syekh Siti Jenar.
Jalur pertama, dari ’Abdul Karim al-Jilli, kepada Badr al-Din al-Maqtul (w. 1420), kepada ‘Ali Turka al-Isfahani (w. 1427), kepada Khwaja Ahar (w. 1490), dan kepada Ibn Abi Jumhur al-Ahsya’ (1433-1499). Ulama muda terakhir inilah yang kemudian memberikan ijazah sufi kepada Syaikh Siti Jenar.
Jalur yang kedua, dari Syaikh ’Abdul Karim al-Jilli, akhirnya sampai kepada Syaikh ‘Abd al-Rahman al-Jami’ (1414-1492). Memang dalam silsilah tersebut, masih ada sedikit rantai putus (missing link) dari al-Jlli dan al-Jami’, dengan jarak satu atau dua generasi silsilah, karena ketika al-Jlli wafat pada tahun 1422, al-Jami’ baru berusia 8 tahun. Akan tetapi bahwa dalam karyanya sangat jelas bahwa ajaran sufi al-Jami’ berinduk pada ajaran ‘Abd al-Karim al-Jilli.
Sementara pada rantai silsilah Badr al-Din, juga didapatkan rantai silsilah yang berasal dari al-Malik Mudzaffar. Badr al-Din meninggal dihukum gantung oleh Sultan Muhammad I pada tahun 1420. Tokoh-tokoh wujudiyah dari jalur Ibn al-’Arabi yang dihukum mati oleh penguasa sebagai akibat dari kekakuan ulama-ulama kalam dan fiqh, selain Badr al-Din adalah Ibn Qasi yang dibunuh pada tahun 546/1151, Ibnu Barajan dan Ibn al-’Arif yang diracun oleh Gubernur Afrika Utara, ‘Ali Ibn Yusuf, setelah beberapa tahun dikurung di dalam penjara. Bahkan Ibn al-’Arabi sendiri seandainya tidak meninggalkan Spanyol, kemungkinan besar juga mengalami nasib yang sama, yang pada waktu itu masih di bawah kekuasaan Bani al-Muwahhidun, dengan kontrol ketat ulama kalam dan fiqh, yang sangat mudah memberikan fatwa hukuman bagi orang dan pihak lain yang dianggap sesat, walaupun mungkin hanya karena faktor kepentingan politik.
Adapun al-Malik al-Asyraf Mudzaffar al-Din Musa memperoleh ijazah langsung dari Ibn al-’Arabi pada tahun 632/1234 sebagai salah satu murid yang dianggap memenuhi syarat utk meriwayatkan karya-karya Ibn al-’Arabi. Syaikh Mudzaffaruddin mempunyai dua murid utama: Ibn Sabi’in (w. 1270) dan Awhad al-Din Balyani (w. 1288), yang kemudian keduanya memiliki murid Ibn Hud (w. 1297). Dari Ibn Hud ini silsilah sampai kepada Syaikh al-Maghribi (w. 1406), walau terdapat jarak dua generasi yang belum terungkap.
Syaikh al-Maghribi menurunkan silsilah sufi kepada Badr al-Din al-Maqtul, kepada ‘Ali Turka al-Isfahani, kepada Khwaja Ahar (w. 1490) yang menjadi guru dari ‘Abd al-Rahman al-Jami’ dan Ibn Abi Jumhur al-Ahsya’. Dari dua guru terakhir inilah nampaknya Syaikh Siti Jenar mendapatkan silsilah kesufian yang berjalur kepada Ibn ’Arabi.
Dengan memperhatikan keseluruhan mata rantai silsilah keilmuan dan silsilah spiritual di atas, maka dapat disimpulkan bahwa ajaran-ajaran Syekh Siti Jenar bukan semata tiruan dari ajaran Ibn Manshur al-Hallaj. Akan tetapi ajaran tasawuf Syekh Siti Jenar benar-benar ditegakkan di atas landasan teoritis, praktis, dan filisofis, yang dibangun melalui jalur silsilah keilmuan serta ijazah sufi yang dapat dipertanggungjawabkan, serta memenuhi standar baku dalam konteks perolehan ilmu-ilmu tasawuf, dan mendapatkan mata rantai yang berujung pada ajaran makrifat Rasulullah Muhammad saw., melalui para tokoh besar tasawuf dari zaman ke zaman.
Pertama. Bahwa Syekh Siti Jenar wafat karena dihukum mati oleh Sultan Demak, Raden Fatah atas persetujuan Dewan Walisongo yang dipimpin oleh Sunan Bonang. Sebagai algojo pelaksana hukuman pancung adalah Sunan Kalijaga, yang dilaksanakan di alun-alun kesultanan Demak. Sebagian versi ini mengacu pada Serat Seh Siti Jenar oleh Ki Sosrowidjojo.
Kedua. Syekh Siti Jenar dijatuhi hukuman mati oleh Sunan Gunung Jati. Pelaksana hukuman (algojo) adalah Sunan Gunung Jati sendiri, yang pelaksanaan hukuman dilaksanakan di Masjid Ciptarasa Cirebon. Mayat Syekh Siti Jenar dimandikan oleh Sunan Kalijaga, Sunan Bonang, Sunan Kudus dan Sunan Giri, dan dimakamkan di Graksan, yang kemudian disebut sebagai pesarean Kemlaten. Hal ini tercantum dalam Wawacan Sunan Gunung Jati Pupuh ke-39, terbitan Emon Suryaatmana dan T.D. Sudjana (alih bahasa pada tahun 1994).
Sebagaimana yang dikemukakan oleh Sudirman Tebba (2000: 41), Syekh Siti Jenar dipenggal lehernya oleh Sunan Kalijaga. Pada awalnya mengucur darah berwarna merah, kemudian berubah menjadi putih. Syekh Siti Jenar kemudian berkata, “Tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan-Nya.” Kemudian tubuh Syekh Siti Jenar naik ke surga seiring dengan kata-kata: “Jika ada seorang manusia yang percaya kepada kesatuan selain dari Tuhan Yang Maha Kuasa, dia akan kecewa, karena dia tidak akan memperoleh apa yang dia inginkan.”
Untuk kisah yang terdapat dalam versi pertama dan kedua masih memiliki kelanjutan yang hampir sama.
Sebagaimana dikemukakan dalam Suluk Syekh Siti Jenar, disebutkan bahwa setelah Syekh Siti Jenar meninggal di Krendhawasa tahun Nirjamna Catur Tunggal (1480 M. Tahun yang tentu saja masih terlalu dini untuk kematian Syekh Siti Jenar), jenazahnya dibawa ke Masjid Demak, karena saat itu magrib tiba dan pemakaman dilakukan esok paginya agar bisa disaksikan oleh raja. Para ulama sepakat untuk menjaga jenazah Syekh Siti Jenar sambil melafalkan pujian-pujian kepada Tuhan. Ketika waktu shalat tiba, para santri berdatangan ke masjid untuk menjalankan shalat. Pada saat itu tiba-tiba tercium bau yang sangat harum, seperti bau kasturi. Selesai shalat para santri diperintahkan untuk meninggalkan masjid. Tinggal para ulama saja yang tetap berada di dalamnya untuk menjaga jenazah Syekh Siti Jenar.
Bau harum terus menyengat, oleh karena itu Syekh Malaya mengajak ulama lainnya untuk membuka peti jenazah Syekh Siti Jenar. Tatkala peti itu terbuka, jenazah Syekh Siti Jenar memancarkan cahaya yang sangat indah, lalu muncul warna pelangi memenuhi ruangan masjid. Sedangkan dari bawah peti memancar sinar yang amat terang, bagaikan siang hari.
Dengan gugup, para ulama mendudukkan jenazah itu, lalu bersembah sujud sambil menciumi tubuh tanpa nyawa itu bergantian hingga ujung jari. Kemudian jenazah itu kembali dimasukkan ke dalam peti. Syekh Malaya terlihat tidak berkenan atas tindakan rekan-rekannya itu.
Suluk Syekh Siti Jenar dan Suluk Walisanga mengisahkan bahwa para ulama itu telah berbuat curang. Jena¬zah Syekh Siti Jenar diganti dengan bangkai anjing kudisan. Jenazah itu sendiri dimakamkan mereka di tempat yang dirahasiakan. Peti jenazah diisi dengan bangkai anjing kudisan. Bangkai inilah yang kemudian dipertontonkan oleh para ulama keesokan harinya kepada masyarakat luas un¬tuk mengisyaratkan bahwa ajaran Syekh Siti Jenar adalah sesat.
Digantinya jenazah Syekh Siti Jenar dengan bangkai anjing ini ternyata diketahui oleh salah seorang muridnya bernama Ki Luntang. Dia datang ke Demak untuk menun¬tut balas. Maka terjadilah perdebatan sengit antara Ki Luntang dengan para wali yang berakhir dengan kematiannya. Sebelum dia mengambil kematiannya, dia menyindir kelicikan para wali dengan mengatakan (Sofwan, 2000: 221):
”.. .luh ta payo totonen derengsun manthuk, yen wus mulih salinen, bangke sakarepmu dadi. Khadal, kodok, rase, luwak, kucing kuwuk kang gampang lehmu sandi, upaya sadhela entuk, wangsul sinantun gajah, sun pastheake sira nora bisa luruh reh tanah jawa tan ana..”
”.. .nah silakan lihat diriku yang hendak menjemput kematian. Jika nanti aku telah mati, kau boleh mengganti jasadku sekehendakmu, kadal, kodok, rase, luwak atau kucing tua yang mudah kau temukan untuk membuat tipuan sebab itu semua mudah kamu peroleh. Akan tetapi, jika hendak mengganti dengan gajah engkau pasti tidak akan bisa karena di tanah Jawa tidak ada…”
Seperti halnya sang guru, Ki Luntang pun mati atas kehendaknya sendiri, berkonsentrasi untuk menutup jalan hidup menuju pintu kematian.
Ketiga. Bahwa Syekh Siti Jenar meninggal karena dijatuhi hukuman mati oleh Sunan Giri, dan algojo pelaksana hukuman mati tersebut adalah Sunan Gunung Jati. Sebagian riwayat menyebutkan bahwa vonis yang diberikan Sunan Giri tersebut atas usulan Sunan Kalijaga (Hasyim, 1987: 47).
Dikisahkan bahwa (Hariwijaya, 2006: 41-42) Syekh Siti Jenar mempunyai sebuah pesantren yang cukup banyak muridnya. Namun sayang, ajaran-ajarannya menyimpang dari ajaran agama Islam. Ajarannya dipandang sesat. Ajarannya tentang keselarasan hubungan antara Tuhan, manusia, dan alam.
Hubungan manusia dengan Tuhannya diungkapkan dengan manunggaling kawula gusti dan curiga manjing warangka. Hubungan manusia dengan alam diungkapkan dengan mengasah mingising budi, memasuh malaning bumi, dan hamemayu hayuning bawana, yang bermuara pada pembentukan jalma sulaksana, al-insan al-kamil, sarira bathara, manusia paripurna, adi-manusia yang imbang lahir batin, jiwa-raga, intelektual spiritual, dan kepala dadanya.
Konsep manunggaling kawula gusti oleh Syekh Siti Jenar disebut dengan uninong aning unong, saat sepi senyap, hening, dan kosong. Sesungguhnya dzat Tuhan dan dzat manusia adalah satu, manusia ada dalam Tuhan dan Tuhan ada dalam manusia.
Sunan Giri sebagai ketua persidangan, setelah mendengar penjelasan dari berbagai pihak dan bermusyawarah dengan para wali, memutuskan bahwa ajaran Syekh Siti Jenar itu sesat. Ajarannya bisa merusak moral masyarakat yang baru saja mengenal Islam. Karenanya Syekh Siti Jenar dijatuhi hukuman mati.
Namun Syekh Siti Jenar masih diberi kesempatan selama satu tahun untuk memperbaiki kesalahannya. Selain itu juga karena masih menanti berdirinya Negara Demak secara formal, karena yang berhak menentukan hukuman adalah pihak negara (Widji Saksono, 1995: 61). Kalau sampai waktu yang ditentukan ia tidak bisa mengubah pendiriannya, maka hukuman mati itu akan diiaksanakan oleh oleh Sunan Gunung Jati diawasi oleh Sunan Kalijaga dan Sunan Kudus.
Sejak saat itu, pesantren Syekh Siti Jenar ditutup dan murid-muridnya pun bubar, menyembunyikan diri dan sebagian masih mengajarkan ajaran wahdatul wujud meskipun secara sembunyi-sembunyi. Setelah satu tahun berlalu, Syekh Siti Jenar ternyata tidak berubah pendiriannya. Maka dengan terpaksa Sunan Gunung Jati melaksanakan eksekusi yang telah disepakati dulu. Jenazah Syekh Siti Jenar dimakamkan di lingkungan keraton agar orang-orang tidak memujanya.
Keempat. Syekh Siti Jenar wafat karena vonis hukuman mati yang dijatuhkan oleh Sunan Giri, dan yang menjadi algojo adalah Sunan Giri sendiri. Peristiwa kematian Syekh Siti Jenar versi ini sebagaimana yang dikisahkan dalam Babad Demak. Menurut babad ini Syekh Siti Jenar meninggal bukan karena kemauannya sendiri, dengan kesaktiannya dia dapat menemui ajalnya, tetapi dia dibunuh oleh Sunan Giri. Keris ditusukkan hingga tembus ke punggung dan mengucurkan darah berwarna kuning. Setelah mengetahui bahwa suaminya dibunuh, istri Syekh Siti Jenar menuntut bela kematian itu kepada Sunan Giri. Sunan Giri menghiburnya dengan mengatakan bahwa bukan dia yang membunuh Syekh Siti Jenar tetapi dia mati atas kemauannya sendiri. Diberitahukan juga bahwa suaminya kini berada di dalam surga. Sunan Giri meminta dia melihat ke atas dan di sana dia melihat suami¬nya berada di surga dikelilingi bidadari yang agung, duduk di singgasana yang berkilauan (Sofwan, 2000: 218).
Kematian Syekh Siti Jenar dalam dalam versi ini juga dikemukakan dalam Babad Tanah Jawa yang disadur oleh S. Santoso, dengan versi yang sedikit memiliki perbedaan. Dalam babad ini disebutkan Syekh Siti Jenar terbang ke surga, tetapi badannya kembali ke masjid. Para ulama takjub karena dia dapat terbang ke surga, namun kemudian marah ka¬rena badannya kembali ke masjid. Melihat hal yang demikian, Sunan Giri kemudian mengatakan bahwa tubuhnya harus ditikam dengan sebuah pedang, kemudian dibakar. Syekh Maulana lalu mengambil sebuah pedang dan menikamkannya ke tubuh Syekh Siti Jenar, tetapi tidak mempan. Syekh Maulana bertambah marah dan menuduh Syekh Siti Jenar berbohong atas pernyataannya yang menegaskan bahwa dia rela mati.
Syekh Siti Jenar menerima banyak tikaman dari Syekh Maulana, tetapi dia terus berdiri. Syekh Maulana kian gusar dan berkata, “Itu luka orang jahat, terluka tapi tidak berdarah.” Dari luka-luka Syekh Siti Jenar itu seketika keluar darah berwarna merah. Seketika Syekh Maulana berkata lagi, “Itu luka orang biasa, bukan kawula gusti, karena darah yang keluar berwarna merah.” Darah merah yang me¬ngucur itu seketika berubah berwarna putih. Syekh Mau¬lana berkata lagi, “Ini seperti kematian pohon kayu, keluar getah dari lukanya. Kalau insan kamil betul tentu dapat masuk surga dengan badan jasmaninya, berarti kawula gusti tak terpisah.” Dalam sekejap mata tubuh Syekh Siti Jenar hilang dan darahnya sirna.
Syekh Maulana kemudian membuat muslihat dengan membunuh seekor anjing, membungkusnya dengan kain putih dan mengumumkan kepada masyarakat bahwa mayat Syekh Siti Jenar telah berubah menjadi seekor anjing disebabkan ajarannya yang bertentangan dengan syariat. Anjing itu kemudian dibakar.
Beberapa waktu setelah peristiwa itu, para ulama didatangi oleh seorang penggembala kambing yang mengaku sebagai murid Syekh Siti Jenar. Dia berkata, “Saya dengar para wali telah membunuh guru saya, Syekh Siti Jenar. Kalau memang demikian, lebih baik saya juga Tuan-tuan bunuh. Sebab saya ini juga Allah, Allah yang menggembalakan kambing.” Mendengar penuturannya itu, Syekh Maulana kemudian membunuhnya dengan pedang yang sama dengan yang digunakan untuk membunuh Syekh Siti Jenar. Seketika tubuh mayat penggembala kambing itu lenyap (Tebba, 2003: 43).
Kelima. Bahwa vonis hukuman mati dijatuhkan oleh Sunan Gunung Jati, sedangkan yang menjalankan eksekusi kematian (algojo) adalah Sunan Kudus. Versi tentang proses kematian Syekh Siti Jenar ini dapat ditemukan dalam Serat Negara Kertabumi yang disunting oleh Rahman Sulendraningrat. Tentu bahwa kisah eksekusi terhadap Syekh Siti Jenar yang terdapat dalam versi ini berbeda dari yang lainnya. Nampaknya kisah ini bercampur aduk dengan kisah eksekusi Ki Ageng Pengging yang dilakukan oleh Sunan Kudus.
Kisah kematian Syekh Siti Jenar dalam sastra kacirebonan ini diawali dengan memperlihatkan posisi para pengkut Syekh Siti Jenar di Cirebon sebagai kelompok oposisi atas kekuatan Kasultanan Cirebon. Sejumlah tokoh pengikutnya pernah berusaha untuk menduduki tahta, tetapi semuanya menemui kegagalan.
Tatkala Pengging dilumpuhkan, Syekh Siti Jenar yang pada saat itu menyebarkan agama di sana, kembali ke Cirebon diikuti oleh para muridnya dari Pengging. Di Cirebon, ke¬kuatan Syekh Siti Jenar menjadi semakin kokoh, pengikut¬nya meluas hingga ke desa-desa. Setelah Syekh Datuk Kahfi meninggal dunia, Sultan Cirebon menunjuk Pangeran Punjungan untuk menjadi guru agama Islam di Amparan Jati. Pangeran Punjungan bersedia menjalankan tugas yang diembankan sultan untuknya, namun dia tidak mendapatkan murid di sana karena orang-orang telah menjadi mu¬rid Syekh Siti Jenar. Bahkan panglima balatentara Cirebon bernama Pangeran Carbon lebih memilih untuk menjadi murid Syekh Siti Jenar. Dijaga oleh muridnya yang banyak, Syekh Siti Jenar merasa aman tinggal di Cirebon Girang.
Keberadaan Syekh Siti Jenar di Cirebon terdengar oleh Sultan Demak. Sultan kemudian mengutus Sunan Kudus disertai 700 orang prajurit ke Cirebon. Sultan Cirebon menerima permintaan Sultan Demak dengan tulus, bahkan memberi bantuan untuk tujuan itu.
Langkah pertama yang diambil Sultan Cirebon adalah mengumpulkan para murid Syekh Siti Jenar yang ternama, antara lain Pangeran Carbon, para Kyai Geng, Ki Palumba, Dipati Cangkuang dan banyak orang lain di Istana Pangkuangwati. Selanjutnya balatentara Cirebon dan Demak menuju padepokan Syekh Siti Jenar di Cirebon Girang. Syekh Siti Jenar kemudian dibawa ke Masjid Agung Cirebon, tempat para wali telah berkumpul.
Yang bertindak sebagai hakim ketua dalam persidangan itu adalah Sunan Gunung Jati. Melalui perdebatan yang panjang, pengadilan memutuskan Syekh Siti Jenar harus dihukum mati. Kemudian Sunan Kudus melaksanakan ek¬sekusi itu menggunakan keris pusaka Sunan Gunung Jati. Peristiwa itu terjadi pada bulan Safar 923 H atau 1506 M (Sofwan, 2000: 222).
Pada peristiwa selanjutnya, dalam Serat Negara Ker¬tabumi ini mulai diperlihatkan kecurangan yang dilakukan oleh para ulama di Cirebon terhadap keberadaan jenazah Syekh Siti Jenar. Dikisahkan, setelah eksekusi dilaksanakan jenazah Syekh Siti Jenar dimakamkan di suatu tempat yang kemudian banyak diziarahi orang. Untuk mengamankan keadaan, Sunan Gunung Jati memerintahkan secara diam-diam agar mayat Syekh Siti Jenar dipindahkan ke tempat yang dirahasiakan, sedang di kuburan yang sering dikun-jungi orang itu dimasukkan bangkai anjing hitam.
Ketika para peziarah menginginkan agar mayat Syekh Siti Jenar dipindahkan ke Jawa Timur, kubur dibuka dan ternyata yang tergeletak di dalamnya bukan mayat Syekh Siti Jenar melainkan bangkai seekor anjing. Para peziarah terkejut dan tak bisa mengerti keadaan itu. Ketika itu Sul¬tan Cirebon memanfaatkan situasi dengan mengeluarkan fatwa agar orang-orang tidak menziarahi bangkai anjing dan agar meninggalkan ajaran-ajaran Syekh Siti Jenar (Sulendraningrat, 1983: 28).
Keenam. Bahwa Syekh Siti Jenar dijatuhi hukuman mati oleh Walisongo. Pada saat hukuman harus dilaksanakan, para anggota Dewa Walisongo mendatangi Syekh Siti Jenar untuk melaksanakan hukuman mati. Akan tetapi kemudian para anggota dewan Walisongo tidak jadi melaksanakan hukuman tersebut, karena Syekh Siti Jenar justru memilih cara kematiannya sendiri, dengan memohon kepada Allah agar diwafatkan tanpa harus dihukum oleh pihak Sultan dan para Sunan, sekaligus Syekh Siti Jenar menempuh jalan kematiannya sendiri, yang sudah ditetapkan oleh Allah. Versi ini mengacu pada Serat Seh Siti Jenar yang digubah oleh Ki Sosrowidjojo, yang kemudian disebarluaskan kembali oleh Abdul Munir Mulkan (t.t.).
Sofwan (2000: 215-217) mengutip Suluk Walisanga (sebagaimana juga terdapat dalam Serat Seh Siti Jenar dalam berbagai versi) yang di dalamnya terdapat cerita yang mengisahkan bahwa ke¬matian Syekh Siti Jenar berawal dari perdebatan yang terjadi antara Syekh Siti Jenar dengan dua orang utusan Sul¬tan Demak, yakni Syekh Domba dan Pangeran Bayat sebagai utusan Sultan Fatah dan Majlis Walisongo. Dua orang utusan ini diperintah Sultan atas persetujuan Majelis Walisongo untuk rnengadakan tukar pikiran (lebih tepatnya menginvestigasi) dengan Syekh Siti Jenar mengenai ajaran yang dia sampaikan kepada murid-muridnya.
Disinyalir bahwa ajaran yang telah disampaikan oleh Syekh Siti Jenar menyebabkan terganggunya stabilitas keamanan dan ketertiban di wilayah Demak. Hal ini disebabkan oleh ulah para muridnya yang berbuat kegaduhan, merampok, berkelahi bahkan membunuh. Bila ada kejahatan atau keonaran, tentulah murid Syekh Siti Jenar yang menjadi pelakunya. Ketika pengawal kerajaan menangkap mereka, segera mereka bunuh diri di dalam ruang tahanan. Bila dikorek keterangan dari mereka, dengan angkuh mereka mengatakan bahwa mereka adalah murid Syekh Siti Jenar yang telah banyak mengenyam ilmu makrifat, dan selalu siap mati bertemu Tuhan.
Mereka beranggapan bahwa hidup di dunia ini menjalani mati, oleh karena itu merasa jenuh menyaksikan bangkai bernyawa yang bertebaran di atasnya. Dunia ini hanya dipenuhi oleh mayat, maka mereka lebih memilih untuk meninggalkan dunia ini. Mereka juga mengejek, mengapa orang mati diajari shalat, menyembah dan mengagungkan nama-Nya, padahal di dunia ini orang tidak pernah melihat Tuhan.
Berkenaan dengan pemahaman yang demikian ini, maka Syekh Domba dan Pangeran Bayat diutus oleh Sul¬tan Demak untuk menemui Syekh Siti Jenar. Dalam pertemuan itu terjadi perdebatan antara utusan Sultan de¬ngan Syekh Siti Jenar. Dalam perdebatan itu terlihat bah¬wa kemahiran Syekh Siti Jenar berada di atas Syekh Domba dan Pangeran Bayat. Pada akhirnya, Syekh Domba merasa kagum atas uraian dan kedalaman ilmu Syekh Siti Jenar, bahkan dia bisa menyetujui kebenarannya. Dia ingin menjadi muridnya secara tulus, kalau saja tidak dicegah oleh Pangeran Bayat.
Selanjutnya, kedua utusan itu kembali ke Demak melaporkan apa yang telah mereka saksikan tentang ajaran Syekh Siti Jenar. Setelah berunding dengan Majelis Walisanga, Sultan kemudian mengutus lima orang wali untuk memanggil Syekh Siti Jenar ke istana guna mempertanggungjawabkan ajarannya. Kelima orang utusan itu adalah Sunan Kalijaga, Sunan Ngudung, Pangeran Modang, Sunan Geseng dan Sunan Bonang. Yang disebut terakhir ini ada¬lah pimpinan utusan itu. Mereka diikuti oleh empatpuluh orang santri lengkap dengan persenjataannya untuk memaksa agar Syekh Siti Jenar datang ke istana. Sesampainya di kediaman Syekh Siti Jenar, kelima wali tersebut terlibat perdebatan sengit. Perdebatan itu berakhir dengan ancaman Sunan Kalijaga. Sekali pun mendapatkan ancaman dari Sunan Kalijaga, Syekh Siti Jenar tetap tidak bersedia untuk datang ke istana karena menurutnya wali dan raja tidak berbeda dengan dirinya, sama-sama terbalut darah dan daging yang akan menjadi bangkai. Lalu dia memilih mati. Mati bukan karena ancaman yang ada, tetapi karena kehendak diri sendiri. Syekh Siti Jenar kemudian berkon-sentrasi, menutup jalan hidupnya dan kemudian meninggal dunia.
Ketujuh. Bahwa Syekh Siti Jenar wafat secara wajar, bahkan mokswa. Adapun yang diberikan hukuman mati adalah dua orang tokoh musuh Syekh Siti Jenar, yang menyalahgunakan nama besar Syaikh Siti Jenar untuk menyebarkan berbagai ajaran yang “nyleneh”, dan musykil, yang sebenarnya tidak diajarkan oleh Syekh Siti Jenar. Dua tokoh tersebut disebut-sebut sebagai Raden Hasan Ali Anggaraksa, dan Syaikh ‘Ali Anshar al-Isfahani.
Kemungkinan karena silang sengkarut kemiripan nama itulah, maka dalam berbagai serat dan babad di Jawa, berita tentang Syekh Siti Jenar menjadi simpang siur. Namun pada aspek yang lain, ranah politik juga ikut memberikan andil pendiskreditan nama Syekh Siti Jenar. Karena naiknya Raden Fatah ke tampuk kekuasaan Kesultanan Demak, diwarnai dengan bau perebutan tahta kekuasaan Majapahit yang sudah runtuh, sehingga segala intrik bisa terjadi dan menjadi “halal” untuk dilakukan, termasuk dengan mempolitisir ajaran Syekh Siti Jenar yang memiliki dukungan massa banyak, namun tidak menggabungkan diri dalam ranah kekuasaan Raden Fatah.
Jika dikaitkan dengan kekuasaan Sultan Trenggono, sebagaimana tercatat dalam berbagai fakta sejarah, naiknya Sultan Trenggono sebagai penguasa tunggal Kesultanan Demak, adalah dengan cara berbagai tipu muslihat dan pertumpahan darah. Karena sebanarnya yang berhak menjadi Sultan adalah Pangeran Suronyoto, yang dikenal dengan sebutan Pangeran Sekar Seda Ing Lepen, kakak laki-laki Sultan Trenggono yang seharusnya menggantikan Adipati Yunus. “Seda Ing Lepen” artinya meninggal di Sungai. Sebenarnya Pangeran Suronyoto tidak meninggal di sungai, namun di bunuh oleh orang-orang suruhan Pangeran Trenggono, baru setelah terbunuh, mayatnya dibuang ke sungai (Daryanto, 2009: 215-278). Kematian kakaknya tersebut diduga atas strategi Sultan Trenggono. Sultan Trenggono sendiri, pada mulanya tidaklah begitu disukai oleh para adipati peisir dan kebanyakan masyarakat, karena sifatnya yang ambisius, yang dibingkai dalam sikap yang lembut.
Salah satu tokoh penentang utama naiknya Trenggono sebagai Sultan adalah Pangeran Panggung di Bojong, salah satu murid utama Syekh Siti Jenar. Demikian pula masyarakat Pengging yang sejak kekuasaan Raden Fatah belum mau tunduk pada Demak. Banyak masyarakat yang kemudian kurang menyukai Sultan Trenggono. Mungkin oleh karena faktor inilah, maka Sultan Trenggono dan para ulama yang mendekatinya kemudian memusuhi pengikut Syekh Siti Jenar. Maka kemudian dihembuskan kabar bahwa Syekh Siti Jenar dihukum mati oleh Dewan Walisongo di Masjid Demak, dan mayatnya berubah menjadi anjing kudisan, dan dimakamkan di bawah mihrab pengimaman masjid. Suatu hal yang sangat mustahil terjadi alam konteks hukum Islam, namun tentu dianggap sebagai sebuah kebenaran atas nama kemukjizatan bagi masyarakat ‘awam.
Keberadaan para ulama penjilat penguasa, yang untuk memenuhi ambisi duniawinya bersedia mengadakan fitnah terhadap sesama ulama, dan untuk selalu dekat dengan penguasa bahkan bersedia menyatakan bahwa suatu ajaran kebenaran sebagai sebuah kesesatan dan makar, karena menabrak kepentingan penguasa itu sebenarnya sudah digambarkan oleh para ulama. Imam al-Ghazali dalam kitab Ihya’ ‘Ulum al-Din menyebutnya sebagai al-‘ulama’ al-su’ (ulama yang jelek dan kotor). Sementara ketika Sunan Kalijaga melihat tingkah laku para ulama pada zaman Demak, yang terkait dengan bobroknya moral dan akhlak penguasa, disampiung fitnah keji yang ditujukan kepada sesama ulama, namun beda pendapat dan kepentingan, maka Sunan Kalijaga membuatkan deskripsi secara halus. Sesuai dengan profesinya dalam budaya, utamanya sebagai dalang, Sunan Kalijaga menggambarkan kelakuan para ulama yang ambisi politik dan memiliki kartekater jelak sebagai tokoh Sang Yamadipati (Dewa Pencabut Nyawa) dan Pendeta Durna (ulama yang bermuka dua, munafik).
Kedua tokoh tersebut dalam serial pewayangan model Sunan Kalijaga digambarkan sebagai ulama yang memakai pakaian kebesaran ulama; memakai surban, destar, jubah, sepatu, biji tasbih dan pedang. Pemberian karakter seperti itu adalah salah satu cara Sunan Kalijaga dalam mencatatkan sejarah bangsanya, yang terhina dan teraniaya akibat tindakan para ulama jahat yang mengkhianati citra keulamaannya, dengan menjadikan diri sebagai Sang Yamadipati, mencabut nyawa manusia yang dianggapnya berbeda pandangan dengan dirinya atau dengan penguasa dimana sang ulama mengabdikan dirinya. Hal tersebut merupakan cara Sunan Kalijaga melukiskan suasana batin bangsanya yang sudah mencitrakan pakaian keulamaan, dalil-dalil keagamaan sebagai atribut Sang Pencabut Nyawa. Atas nama agama, atas nama pembelaan terhadap Tuhan, dan karena dalil-dalil mentah, maka aliran serta pendapat yang berbeda harus diberangus habis.. gambaran Pendeta Durna adalah wujud dari rasa muak Sunan Kalijaga terhadap para ulama yang menjilat kepada kekuasaan, bahkan aktifitasnya digunakan untuk semata-mata membela kepentingan politik dan kekuasaan, menggunakan dalil keagamaan hanya untuk kepentingan dan keuntungan pribadi dengan mencelakakan banyak orang sebagai tumbalnya. Citra diri ulama yang tukang hasut, penyebar fitnah, penggunjing, dan pengadu domba. Itulah yang dituangkan oleh Sunan Kalijaga dalam sosok Pendeta Durna.
Berbagai versi tentang kematian Syekh Siti Jenar menunjukkan bahwa tokoh Syekh Siti Jenar memang sangat kontroversial. Berbagai literatur yang ada tidak dapat memastikan tentang asal-usul keberadaannya hingga proses kematian yang dialaminya, disebabkan oleh banyaknya faktor dan kepentingan yang mengitarinya.
Walaupun demikian, sejumlah besar keterangan yang mengisahkan tentang keberadaannya memerlihatkan ajarannya yang selalu dipertentangkan dengan paham para wali, namun sekaligus tidak jarang membuat para wali itu sendiri “kagum” dan “mengakui” kebenaran ajarannya. Tentu saja, “pengakuan” dan “kekaguman” itu tidak pernah diperlihatkan secara eksplisit karena akan mengurangi “keagungan” mereka, disamping kurang obyektifnya penulisan serat dan babad Jawa, yang terkait dengan Syekh Siti Jenar. Maka kkita mendapatkan dalam berbagai serat dan babad tersebut, bahwa ending dari kisah Syekh Siti Jenar se¬lalu dihiasi dengan usaha-usaha licik para wali, bahkan sekali pun terhadap mayatnya. Bisa jadi hal ini memang dilakukan oleh para ulama penjilat kekuasaan, oleh murid-murid generasi penerus para ulama yang pernah memusuhi ajaran Syekh Siti Jenar, atau oleh para penulis kisah yang juga memiliki kepentingan tersendiri terkait dengan motif politik, ideologi, keyakinan, dan ajaran keagamaan yang dianutnya.
Sebagian penafsir mengatakan bahwa memang Syekh Siti Jenar bukanlah berasal dari manusia, namun semua ia adalah seekor cacing yang disumpah oleh Sunan Bonang menjadi manusia. Padahal, jika cara pembacaan ini dilakukan dengan cara referensi silang, kita mendapatkan penjelasan dari sumber lain, misalnya dalam Serat Seh Siti Jenar yang tersimpan di museum Radya Pustaka Surakarta, bahwa yang dimaksud ”elur” (cacing) tidak lain adalah ”wrejid bangsa sudra” (yang berasal dari rakyat jelata). Maksudnya Syekh Siti Jenar adalah masyarakat biasa yang berhasil menjadi wali, atau seorang wali yang menjelata (menempatkan dirinya berada di tengah-tengah masyarakat jelata) (lihat misalnya Sujamto, 2000:87).
Terkait dengan berbagai hal buruk hal yang dialami oleh Syekh Siti Jenar ini, sebenarnya bukanlah persoalan yang aneh dalam tasawuf. Karena Syekh Siti Jenar hanya sekedar melaksanakan salah satu nasehat sufi, yang pernah dikemukakan oleh Syaikh Ibn ’Athaillah al-Sakandari dalam kitab Al-Hikam:
Dengan segala kerendahan, caci maki, fitnah dan berbagai tuduhan serta perendahan yang selalu diterima Syekh Siti Jenar, hal itu justru semakin menumbuhsuburkan kebaikannya di sisi Allah.
Beberapa penulis di Indonesia menyatakan bahwa Syekh Siti Jenar adalah seorang ulama penganut madzhab Syi’ah, yang mendapatkan tantangan para Wali lain yang bermadzhab Sunni (Rahimsah, t.t., 121-124; Simon, 2004: 368-371). Hal ini perlu dikoreksi, karena persentuhan Syekh Siti Jenar dengan para ulama Syi’ah hanyalah dalam konteks silaturrahmi dan mudzakarah. Dia sendiri secara fiqih lebih dominan bermadzhab sunni, walaupun dalam konteks analisis ilmiah dan pemikirannya sangat filosofis, sebagaimana juga pernah terjadi pada pribadi legendaris, Imam al-Ghazali. Faham Ahlussunnah Waljama’ah Syekh Siti Jenar ditunjukkan dalam pernyataan Babad Tanah Jawa Poerwaredja yang dikutip Rinkes (1910: VI/115), bahwa Syekh Siti Jenar termasuk Walisongo yang berlandaskan pada ”Ijma’, Qiyas, Dalil, Hadits”.
Perbedaan pendapat antara Syekh Siti Jenar dengan para ulama Walisongo adalah lebih dalam konteks perbedaan apresiasi politik, aplikasi fiqih dan filosofi ketuhanan, bukan dikhotomi Sunni-Syi’ah. Sehingga membawa perbedaan pandangan tersebut dengan menariknya pada dimensi dikhotomi Sunni-Syi’ah menjadi tidak tepat, apalagi petunjuk ke arah sana tidak mendapatkan landasan referensi yang jelas.
Hal ini memunculkan banyak kesalahpahaman dalam penulisan sejarah dan kisah tentang para Walisongo, utamanya Syekh Siti Jenar. Lebih parah lagi, sebagian penulis memberikan tuduhan bahwa maraknya penulisan Syekh Siti Jenar terkait dengan gerakan politik PKI dan zending Kristenisasi (misalnya Hasanu Simon, 2004: 381-383, 428-429). Tentu tuduhan ini menjadi suatu tindakan fitnah keji atas sejarah, dan sangat jauh dari kenyataan yang ada.
Di sebuah dukuh terpencil sebelah Selatan dukuh Lemah Abang di Cirebon itulah kemudian Syekh Siti Jenar wafat di sekitar tahun 1530 M, dan jasadnya dikuburkan secara terhormat oleh para wali di astana Kemlaten. Kesunyian makamnya yang sampai sekarang terjadi, tidak lain menunjukkan keinginannya agar selalu berada dalam kesunyian bersama Ilahi, yang pada masa lalu tempat tersebut dikenal sebagai “Suwung”, sebuah lokasi yang dikhususkan beruzlah taqarrub kepada Allah.
Salah satu versi menyatakan bahwa Syekh Siti Jenar wafat secara mokswa, yakni wafat, dimana jasadnya ikut hilang terserap menjadi ruh, dan berada di sisi Ilahi. Tentu hal ini dapat dipahami, bahwa Syekh Siti Jenar yang sudah diliputi oleh Ruh al-Haqq, sudah melepaskan diri kemanusiaannya secara total. Ia sudah menjadi sesuatu yang tiak bisa dijabarkan dengan kata-kata. Ya, manusia sempurna, al-insan al-kamil, sang adi-manusia, atau sang manusia Ilahi, adalah sang suwung, hampa, dan tak bermakna apa-apa, karena dirinya sepenuhnya sudah terserap dalam Sang Ilahi.
Apalagi diriwayatkan bahwa Sunan Kudus bahkan berguru ruhani kepada Ki Ageng Pengging. Tidaklah mungkin, begitu selesai berguru, lalu sang murid membunuh gurunya sendiri. Demikian pula kisah bahwa Sunan Kudus mendatangi Ki Ageng Pengging untuk membunuhnya atas titah Sultan Fatah (versi De Graff [1949: 96-99] menyebutkan atas titah Sultan Trenggono), dan kemudian Ki Ageng Pengging wafat dengan memilih caranya sendiri, sebagaimana dikemukakan alam Serat Syekh Siti Jenar (juga dalam Daryanto, 2009: 179). Yang jelas, penyerbuan Demak ke Pengging dengan senopati perangnya adalah Sunan Kudus memang terjadi, dan menurut sebagian cerita Ki Ageng Pengging Anom meninggal dalam perang. Akan tetapi bukan vonis kematian yang disebabkan perbedaan ajaran Islam, namun karena memang Pengging tidak mau tunduk kepada Demak (Daryanto, 2009: 160).
Ketidaktundukan Pengging kepada Demak disebabkan karena menurut Ki Ageng Pengging Sepuh (Pangeran Adipati Handayaningrat), Kesultanan Demak tidak sah, karena didirikan di atas pembiaran keruntuhan Majapahit, padahal Sultan Fatah termasuk putra Raja Majapahit yang seharusnya ikut bertanggungjawab atas keberlangsungan Majapahit. Raden Fatah mengetahui secara persis, bahwa di samping Lasem, Pengging termasuk “tanah mahkota” dari Majapahit (tanah milik keluarga Raja dalam arti yang sebenarnya), bahkan Raja Hayam Wuruk, paling tidak dua kali pernah melakukan perjalanan ke Pengging secara khusus (Daryanto, 2009: 172). Kekuatan posisi Pengging inilah, selain kedudukan dan ketokohan Ki Ageng Pengging, termasuk suatu hal yang sangat diperhitungkan Demak.
Setelah Ki Ageng Pengging Anom wafat (dalam salah satu versi meninggalkan Pengging untuk menemani gurunya Syekh Siti Jenar menempuh perjalanan ruhani menuju Tuhan), maka Kadipaten Pengging dipimpin oleh Jaka Tingkir, yang kemudian memindahkan pusat kerajaan Demak di Pajang (Sudarno dalam Moentadhim, 2010: 256).
Perlu penulis tekankan, berbagai tuduhan sesat atas ajaran Syekh Siti Jenar sebenarnya hampir semua mengacu pada serat dan babad Jawa, yang ditulis oleh mereka yang tidak sepenuhnya mengerti tentang Islam dan tasawuf. Misalnya tokoh Wirjapanitra (t.t.) yang menulis Babad Tanah Jawi yang mengemukakan ajaran Syekh Siti Jenar pada pupuh 21-22 misalnya. Namun yang paling banyak dikutip dan dijadikan dasar adalah Serat Seh Siti Jenar, yang menurut banyak pihak ditulis oleh Ki Sosrowidjojo atau Ki Panji Notoroto. Serat ini memuat tentang Syekh Siti Jenar, ajaran dan wafatnya sejak Pupuh III Dandanggula sampai Pupuh IX Sinom. Sementara para ulama Walisongo sendiri tidak ada yang menyatakan bahwa ajaran Syekh Siti Jenar itu sesat, apalagi sebagai seorang kafir atau murtad. Adapun vonis hukum mati oleh para Wali kepada para pengikut yang dianggap salah jalan, adalah dengan pertimbangan konteks ushul fiqih, syadz al-dzara’i, yang mengedepankan konsep dar-u al-mafasid tuqdamu min jalb-u al-mashalih (mencegah keburukan lebih lanjut, harus lebih di dahulukan aripada menciptakan kebaikan). Walisongo tidak memandang sesat ajaran Syekh Siti Jenar nampak dalam memberlakukan jasad Syekh Siti Jenar yang sudah meninggal, bahwa jenazah Syekh Siti Jenar diperlakukan secara baik sebagai jenazah Muslim, dirawat, disucikan, dikafani dan dishalat-jenazahkan (Rinkes, 1910: VI/50).
Akan tetapi isi dari Serat tersebut, yang memang mengandung banyak ajaran yang meragukan tauhid Islam, kemudian mendapatkan koreksi menyeluruh dari Ki Sosrowidjojo sendiri dalam karangan yang dibuatnya kemudian, yakni dalam Serat Bayanullah (1975). Dalam Serat Bayanullah nampak sekali bahwa ajaran-ajaran Syekh Siti Jenar tidak bertentangan dengan makrifat Islam pada umumnya. Tentu ketika orang membaca Serat Seh Siti Jenar, seharusnya membaca pula Serat Bayanullah, yang dibuat oleh tokoh yang sama. Kesalahan para penulis Syekh Siti Jenar, hanya mengandalkan satu sumber naskah mengenai Syekh Siti Jenar, tidak dan kurang mencoba untuk mempertimbangkan sumber referensi yang lain.
Melihat perbedaan isi antara Serat Seh Siti Jenar dengan Serat Bayanullah yang ditulis oleh orang yang sama, terdapat dua kemungkinan yang muncul: (1) Serat Seh Siti Jenar dibuat oleh Ki Panji Notoroto sebelum ia mengenal Islam secara lebih baik, dan setelah ia mengenal ajaran Islam secara baik, kemudian ia menulis Serat Bayanullah. Atau (2) bahwa Serat Seh Siti Jenar tidak benar-benar ditulis oleh Ki Panji Notoroto atau Ki Sosrowidjojo, namun ditulis orang lain yang sengaja menjungkirbalikkan ajaran Syekh Siti Jenar. Agar mendapatkan keabsahan yang lebih, maka penulis tersebut mencomot nama Ki Sosrowidjojo sebagai penulisnya.
Bahkan kesalahan penulisan sejarah dan ajaran Syekh Siti Jenar dalam berbagai serat dan babad Jawa, sudah dikoreksi oleh para pujangga kuno, misalnya oleh Hardjawidjaja dalam Serat Syekh Siti Jenar, pada bait ke-2 sampai bait ke-4 menyatakan bahwa perihal Syekh Siti Jenar sebagaimana termuat dalam karya Ki Sasrawidjaja dan digubah juga oleh Kyai Mangoenwidjaja semuanya masih menyimpang dari cerita aslinya (lihat juga Sudirman Tebba, 2003: 27-29). Sehingga ketika seseorang mengutip dari karya-karya tersebut, haruslah disertai dengan sikap yang kritis.
Pada kesimpulannya dari penelitian atas naskah Badu Wanar dan naskah Drajat, Sjamsudduha (2006: 314) mengemukakan bahwa Syekh Siti Jenar adalah ulama dan wali yang tidak tergolong (berasal) dari Jawa. Ilmu yang dipelajarinya (dan diajarkannya) tergolong ilmu yang tinggi dan sulit (Jawa = lungit). Dia tidak mengajarkan ilmu yang sesat dan menyesatkan. Bahwa dia diberitakan dalam berbagai sumber tradisi mengajarkan ilmu wahdatul wujud dan pengakuannya ana al-haqq yakni bahwa dirinya adalah Allah sehingga dijatuhi hukuman pancung, harus dicari klarifikasinya dalam konteks sejarah konflik paham keagamaan pada saat Serat Babad Demak (dan berbagai serat serta babad jawa yang lain) ditulis.
Naskah Badu Wanar dan Naskah Drajat memberitahukan kepada kita bahwa Syekh Siti Jenar memperdalam ilmi wahbat, tauhid, junun, ma’rifat dan ilmu tasawuf (diantaranya) kepada Sunan Ampel. Ilmu-ilmu tersebut diuraikan maknanya dan tetap berada dalam kerangka ilmu-ilmu menurut faham Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah (Sjamsudduha, 2006: 110-111). Hal ini juga akan menemukan titik temu ketika kita perhatikan berbagai penuturan naskah-naskah Cirebon. Ada tujuh naskah utama mengenai Walisongo yang berasal dari Cirebon, yakni: Carita Purwaka Caruban Nagari (CPCN), Babad Tanah Sunda (BTS), Sajarah Cirebon (SC), Babad Cerbon terbitan Brandes (BC-Br), Carub Kanda (CK), Babad Cirebon terbitan S.Z. Hadisutjipto (BC-Hs), dan Wawacan Sunan Gunung Jati (WSGJ). Dari tujuh naskah tersebut, yang menyebutkan bahwa Syekh Siti Jenar mengajarkan ajaran sesat dan kemudian dibunuh hanya tiga naskah, yaitu BTS, WSGJ, dan CPCN. Sementara dalam empat naskah yang lain: SC, BC-Br, CK, dan BC-Hs, Syekh Siti Jenar disebutkan secara mulia dan terpuji, tidak ada kesalahan dan pertentangan dalam ajarannya, dan tidak ada pembunuhan terhadap Syekh Siti Jenar baik oleh Sultan maupun para wali.
Kesimpulan dari hal tersebut: bahwa menyandarkan referensi ajaran Syekh Siti Jenar kepada Serat Seh Siti Jenar, dan berbagai serat serta babad Jawa tidak sepenuhnya benar dan baik. Karena berbagai distorsi sejarah dan ajaran sudah banyak terjadi dalam penulisan serat dan babad Jawa, apalagi ditulis ditengah kemelut politik serta permusuhan berbagai paham keagamaan, sebagaimana terjadi pada abad ke-17 dan 18, disusul oleh pertempuran ideologi abad ke-20, yakni pada masa banyak ditulis ulang tentang ajaran Syekh Siti Jenar. Tindakan kritis, analitis dan korektif sangat diperlukan.
Pada akhirnya perlu dikemukakan, bahwa walaupun terdapat berbagai perbedaan pendapat tentang sosok Syekh Siti Jenar, namun terdapat satu kesamaan simpulan yang menyatakan bahwa: tidak bisa dipungkiri, masyarakat pedalaman Jawa pada masa Walisongo, menjadi muslim karena jasa besar Syekh Siti Jenar (termasuk Sunan Kalijaga dan para ulama di pedalaman lain) yang mengambil posisi dakwah di lingkungan pedesaan dan pedalaman, ketika para wali yang lain menfokuskan perhatiannya di lingkungan perkotaan, metropolitan dan pesisir. Tentu tindakan dan amal shalih dalam bentuk jihad seperti itu, di sisi Allah mendapatkan penilaian yang sangat mulia.
Wa Allahu a’lam-u bi al-Shawab wa bi Muradih-i.
Abdul Munir Mulkhan, Ajaran dan Jalan Kematian Syekh Siti Jenar Konflik Elite dan Lahirnya Mas Karebet, Kreasi Wacana Yogyakarta, cetakan ke-8, Oktober 2002.
Abdul Munir Malkhan (Edt.), Seh Siti Jenar dan Ajaran Wihdatul Wujud Dialog Budaya dan Pemikiran Jawa – Islam, Yogyakarta: Percetakan Persatuan, t.t.
Abdul Munir Mulkhan, Syekh Siti Jenar Pergumulan Islam-Jawa, Bentang Yogyakarta, cetakan ke-12, 2003.
Abu Ubaidah Yusuf bin Mukhtar As-Sidawi, Koreksi Hadits-Hadits Dha’if Populer, Bogor: Media Tarbiyah, 2008.
Agus Sunyoto, Suluk Abdul Jalil Perjalanan Ruhani Syekh Siti Jenar dan Sang Pembaharu Perjuangan dan Ajaran Syekh Siti Jenar, 7 jilid, LKIS, Yogyakarta, 2003-2004.
Alwi Shihab, Islam Sufistik “Islam Pertama” dan Pengaruhnya hingga Kini di Indonesia”, Bandung, Mizan, 2001.
Azyumardi Azra, Islam Nusantara: Jaringan Global dan Lokal, Mizan, Bandung, 2002.
Annemarie Schimmel, Mysticl Dimension of Islam, The University of North Carolina Press, Chapel Hill, 1975
Atja, Tjarita Purwaka Tjaruban Nagari (Sedjarah Muladjadi Keradjaan Tjirebon), Ikatan Karyawan Museum, Jakarta, 1972
Atja dan Ayatrohaedi, Nagarakretabhumi, I.5, Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Sunda, Bandung, 1986.
Atmodarminto, Babad Demak (Edisi Bahasa Indonesia), Millenium Publisher, Jakarta, 2000.
Bisyri Musthafa, KH., Tarikh al-Auliya’, Menara Kudus, 1984
Brandes, J.L.A. en D.A. Rinkes, Babad Tjerbon, VGB, LIX, Batavia, 1911.
Bratakesawa, Falsafah Sitidjenar, Yayasan Penerbitan Djoyoboyo, Surabaya, cetakan VI, 1885 J/ 1954 M.
Dadan Wildan, Sunan Gunung Jati (Antara Fiksi dan Fakta) Pembumian Islam dengan Pendekatan Struktural dan Kultural, Humaniora Utama Press, Bandung, 2003.
Daryanto, Raden Fatah Bara di Atas Demak Bintara, Jakarta: Tiga Kelana, 2009.
De Graaf, H.J., dan Th. G. Th. Pigeut, Kerajaan-kerajaan Islam Pertama di Jawa: Kajian Sejarah Politik Abad ke-15 dan ke-16, Grafiti Pers, Jakarta, 1985.
Drewes, G.J.W., Perdebatan Walisanga Seputar Makrifatullah, terj. Wahyudi, Al-Fikr, Surabaya, 2002.
Edi S. Ekadjati, Babad Cirebon Edisi Brandes, Tinjauan Sastra dan Sejarah, Bandung: Fakultas Sastra Universitas Padjadjaran, 1978.
H. Boedenani, Sejarah Sriwijaya, Terate, Bandung, 1976
H.J. De Graff, Geschiedenis van Indonesie, s’Gravenhage: NN Uitgevrij W van Hoeve, 1949.
Hariwijaya, Kisah Para Wali, Nirwana, Yogyakarta, 2003
Hasanu Simon, Misteri Syekh Siti Jenar Peran Walisongo dalam Mengislamkan Tanah Jawa, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004.
I. Hrbek, The Chronology of Ibn Batuta’s Travels, t.tp.: t.p., 1962
Imam al-Ghazali, Ihya’ ‘Ulum al-Din, Kairo: Musthafa Bab al-Halabi, t.t.
Irul SB, “Menelusuri Sejarah Pengging dan Pujangga R.Ng. Yosodipuro; Diwarisi Sepak Terjang Kebo Kenongo”, Laporan Khusus Tabloid Posmo, Edisi 260, 8 April 2004, hlm. 16
Karto Soedjono, Kitab Wali Sepuluh, Tan Khoen Swie, Kediri, 1950.
KH. Said Agil Siroj, Dialog Tasawuf Kiai Said, Surabaya: Khalista-LTN PBNU-SAS Foundation, 2012.
Ki Sasrawijaya, Serat Syaikh Siti Jenar, Keluarga Bratakesawa, Yogyakarta, 1953.
Ki Trunarimong dan Sang Indrajit, Kitab Mantra Yoga, Sadu Budi, Solo, cetakan XII, t.t.
Louis Massignon, Diwan al-Hallaj, Putra Langit, Yogyakarta, cet. II, 2003
MB. Rahimsah, Legenda & Sejarah Lengkap Walisongo, Surabaya: Amanah, t.t.
Mahmud Zakki Najib, Jabir ibn Hayyan, al-Markaz al-‘Arabi li al-Tsaqafah wa al-‘Ulum, Beirut, t.t.
Majalah Gatra, Edisi Khusus No. 5, tahun VIII, 2001
Mark R Woodward, Islam Jawa Kesalehan Normatif versus Kebatinan, terj. Hairus Salim HS, LKIS, Yogyakarta, 1999.
Martin Moentadhim S.M., Pajang Pergolakan Spiritual, Politik dan Budaya, Jakarta: Genta Pustaka – Yayasan Kertagama, 2010.
Mas Ngabehi Mangun Wijaya, Serat Seh Siti Jenar, berhuruf Jawa, Widya Poestaka, Weltevreden, 1917.
Muhammad Sholikhin, Ajaran Ma’rifat Syekh Siti Jenar, Narasi, Yogyakarta, 2007.
Muhammad Sholikhin, Manungaling Kawula-Gusti Filsafat Kemanunggalan Syekh Siti Jenar, Narasi, Yogyakarta, 2008.
Muhammad Sholikhin, ”Persinggungan Pidato Bung Karno 1 Juni 1945 dengan Ajaran Syekh Siti Jenar”, Jurnal An-Nida, STAIN Purwokerto, 2010.
Muhammad Sholikhin, Sufisme Syekh Siti Jenar Kajian Kitab Serat dan Suluk Siti Jenar, Narasi, Yogyakarta, 2004.
Muhammad Sholikhin, Ternyata Syekh Siti Jenar Tidak Dieksekusi Walisongo, Jakarta: Erlangga, 2011.
Muhammad Sholikhin, “Walisanga Tanpa Mitos”, Majalah Gatra, Juni 1994.
Nina M. Armando (et.al.), Ensiklopedi Islam (Edisi Baru) , Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 2005.
Olthof, W.L., Babad Tanah Djawi. In Proza Javaansche Geschiedenis, ‘s-Gravenhage, M.Nijhoff, 1941.
Pigeaud, Th. G., Literature of Java, The Hague, Belanda, 3 vols., 1967.
Poerbatjaraka, R.M. Ng., Kepustakaan Jawa, Jakarta, 1964.
P.S. Sulendraningrat, Purwaka Tjaruban Nagari, Bharata, Jakarta, 1972.
R. Atmodarminto, Babad Demak dalam Tafsir Sosial Politi Episode Keislaman dan Kebangsaan, Jakarta: Millenium Publisher, 2000.
R. Ng. Ranggawarsita, WIRID Punika Serat Wirid Anyariyosaken Wewejanganipun Wali VIII, Administrasi Jawi Kandha Surakarta, penerbit Albert Rusche & Co., Surakarta, 1908
R. Sasrawidjaya, Serat Syekh Siti Jenar, Kulawarga Bratakesawa, Yogyakarta, cet. I, 1958.
R. Tanaya, Walisana (Babad Para Wali disandarkan pada karya Sunan Giri II), TB. Sadu Budi, Solo, t.t.
R. Tanojo, Suluk Walisanga, tdp.Raden Panji Natarata Raden Sasrawidjaja, Serat Bayanullah, Surabaya: Y.P. Jaya Baya, 1975.
Raden Panji Prawirayuda, Babad Majapahit, Babad Para Wali, 3 jilid, Depdikbud, 1988
Raffles, Th.S., The History of Java, 2 vol, 1817
Rahman Sulendraningrat, Serat Negara Kertabhumi, Depdikbud, Jakarta, 1972
Ridin Sofwan, Wasit, Mundiri, Islamisasi di Jawa; Walisongo, Penyebar Islam di Jawa, Menurut Penuturan Babad, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, cetakan kedua, 2004.
Rinkes, D.A., De Heiligen van Java (6 vol), 1910
S.Z. Hadi Sutjipto, Babad Cirebon, Jakarta: Proyek Penerbitan Bacaan dan Sastra Indonesia dan Daerah Depdikbud, 1979.
Sang Indrajit, Kitab Wedha Mantra, Sadu Budi Solo, cetakan ke-12, 1979.
Sang Indrajit, Primbon Sabda Sasmaya, Sadu Budi, Solo, XVI, t.t.
Sartono Kartodirjo, Pengantar Sejarah Indonesia Baru: 1500-1900, dari Emporium sampai Imperium I, Gramedia, Jakarta, 1987
Sayyid Ahmad al-Hasyimi, Mukhtar al-Ahadits al-Nabawiyah, Semarang, Thoha Putra, t.t.
Serat Candhakipun Riwayat Jati (Alih Aksara), Perpustakaan Daerah Propinsi Jawa Tengah, 2002.
Serat Centini (Edisi Bahasa Indonesia), U.P. Indonesia, Yogyakarta, 1978.
Serat Kebokenongo, Tan Khoen Swie, Kediri, 1921
Serat Siti Djenar, Tan Khoen Swie, Kediri, 1922 (aksara Jawa); 1931 (aksara latin).
Serat Siti Jenar, Perpustakan Sono Budoyo Surakarta, nomor katalog SB.137.
Serat Syekh Siti Jenar, Widya Pustaka, Weltevreden, 1917
Serat Tjebolek, terbitan van Dorp, Semarang, 1886
Sjamsudduha, Walisanga Tak Pernah Ada?, Surabaya: JP Books, 2006.
Soebardi, S., The Book of Cebolek; A Critical Edition with Introduction, Translation and Notes. A Constribution to the Study of the Javanese Mystical Tradition, The Hague Martinus Nijhoff, Den Haag, 1975.
Sudibyo Z Hadisutjipto, Babad Tanah Jawi, Balai Pustaka, Jakarta, t.t.
Sudirman Tebba, Syaikh Siti Jenar Pengaruh Tasawuf Al-Hallaj di Jawa, Bandung: Pustaka Hidayah, 2003.
Sulaeman Sulendraningrat, Babad Tanah Sunda, Cirebon, tb., 1982
Suluk Malang Sumirang, terbitan keluarga Bratakesawa, Yogyakarta, 1952.
Sujamto, Reorientasi dan Revitalisasi Pandangan Hidup Jawa, Semarang: Dahara Prize, 2000.
Sulendraningrat, Rahman, Sejarah Hidup Walisanga, Cirebon: Kucing, 1983.
Talal Harb, Rihlah Ibn Batutah al-Musammah Tuhfah an-Nadzdzar fi Ghara-ib al-Amsar wa ‘Aja-ib al-Asfar, Beirut: Dar al-Kutub al-’Ilmiyah, 1987.
Umar Hasyim, Sunan Kalijaga, Kudus: Menara, cetakan XVI, 1987.
Van Ronkel, Suluk Seh Lemahbang, Belanda, 1913.
Widji Saksono, Mengislamkan Tanah Jawa Telaah atas Metode Dakwah Walisongo, Bandung: Mizan, 1995.
Wiryapanitra, Wejangan Walisanga, TB. Sadu Budi Solo, t.t. (sekitar 1969).
Zoetmulder, P.J., Robson, S.O., Kamus Jawa Kuna Indonesia, Jakarta: KITLV- Gramedia, cetakan keenam, 2006.
Zoetmulder, P.J., Manunggaling Kawula-Gusti Panthisme dan Monisme dalam Sastra Suluk Jawa, KITLV-LIPI-Gramedia, Jakarta cetakan kedua, 1991.