Jakarta (voa-islam.com) Saat berlangsung debat di sebuah stasiun telivisi swasta, nampaknya Jokowi-Ahok, tak ubahnya seperti "jokosembung", banyak yang nggak nyambung alias kurang menguasai data.
Jokowi-Ahok, yang banyak dicitrakan oleh media-media sekuler dan kristen itu, dipoles seperti "tukang sulap", yang hebat, yang akan dapat mengubah DKI Jakarta dalam waktu semalam. Padahal, tak ada rumusnya, siapapun dapat menyulap DKI dalam waktu sekejap
Sebaliknya, menurut Sekertaris Daerah (Sekda) DKI Jakarta, Fadjar Panjaitan, sejumlah program yang diungkapkan oleh Jokowi dalam debat di stasiun telivisi swasta, terkesan hanya ilusi dan mengada-ada, pembodohan terhadap rakyat belaka, dan banyak data yang salah. Salah satunya pembenahan pemukiman kumuh di bantaran kali Ciliwung di Bukitduri, Tebet Jakarta Selatan.
"Tidak mungkin membangun pemukiman di trase kali Ciliwung di Bukit Duri. Sebab trace Ciliwung di dalam kota adalah 35 meter (badan air) + 15 trace, itu adalah tanah negara (pemerintah pusat), kalau diubah jadi pemukiman, itu diancam pidana," ujarnya di ruang kerjanya, Balai Kota DKI, Jakarta Pusat, Senin (17/9/2012).
Fadjar menjelaskan, jika memindahkan pemukiman kumuh 10-15 meter diluar trace kering atau bantaran kali, adalah tanah milik masyarakat. Dengan demikian memerlukan dana pembebasan tanah yang tidak sedikit. "Tidak ada tanah Pemprov di kawasan pinggiran kali itu, kalau bilang bisa dibangun dengan dana Rp 24 miliar, itu hanya pembangunannya, tidak termasuk pembebasan lahan," katanya.
Menurutnya tanah pemerintah tidak mungkin diserahkan sertifikatnya ke masyarakat dengan sistem hibah atau pemberian, karena tidak ada dasar hukumnya. Selain itu, lanjut Fadjar, ketika Ahok mengatakan sistem Jaminan Kesehatan Daerah (Jamkesda) DKI melanggar Undang-undang (UU) 40/2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN), ia juga salah.
"Sebagai mantan anggota DPR, mungkin dia (Ahok) masih mengambil definisi Pemerintah dalam UU adalah pemerintah pusat RI, padahal Mahkamah Konstitusi pada 2005 sudah memutuskan bahwa yang dimaksud ’pemerintah’ dalam UU adalah Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah," tegasnya.
Ia mengatakan, Pemprov DKI juga sudah menyelenggarakan Jamkesda sejak 2000, dan diperkuat Perda pada 2009, sehingga tidak mungkin Perda melanggar UU. Sejak 2007 hingga 2011, lanjutnya, sudah ada 2,7 juta penduduk yang menikmati Jamkesda ini. Pada 2011, Pemprov DKI juga membentuk Unit Pengelola Teknis (UPT) Jamkesda di bawah Dinas Kesehatan DKI. "Bagi lansia yang KTPnya sudah berlaku seumur hidup, otomatis kartunya itu bisa berfungsi sebagai kartu Jamkesda, pasti dilayani," ucapnya.
Selain itu, Ahok juga salah mengenai data Puskesmas di DKI, ketika ia mengatakan baru empat Puskesmas yang ada layanan rawat inap. Kepala Dinas Kesehatan DKI Jakarta, Dien Emmawati mengatakan, ada 340 Puskesmas di DKI Jakarta, yang terdiri dari 44 Puskesmas Kecamatan dan 296 Puskesmas Kelurahan. "Saat ini sudah 12 Puskesmas Kecamatan yang melayani rawat inap. Kalau Puskesmas Kelurahan, secara teknis tidak memungkinkan," ujarnya lagi.
Ahok juga salah mengenai adanya 94 Fakultas kedokteran di DKI, padahal hanya ada 10 fakultas kedokteran. Saat berdebat di bidang transportasi, Jokowi juga dinilai banyak salah pengertian.
Fadjar menambahkan, Jokowi yang menyebutkan Otoritas Transportasi Jabotabek (OTJ) hanya membutuhkan komunikasi dan koordinasi juga kurang tepat. Pasalnya, OTJ merupakan kewenangan pemerintah pusat, bukan Pemprov DKI. Serta dalam pengawasan Unit Kerja Presiden bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4). "OTJ tidak hanya mengatur sistem teknis transportasi namun juga komitmen penyediaan dana untuk pembangunan sarana prasarana yang tidak mungkin didanai pemerintah daerah sendiri," tegasnya.
Selain itu, Pemprov DKI juga sudah memulai menjalankan Angkutan Perbatasan Terintegrasi Busway (APTB) dengan Bekasi dan Tangerang, sebagai langkah non formal dari OTJ. Kesalahan data Jokowi juga adalah mengenai Transjakarta, sebab pada era Sutiyoso, hanya dibangun 7 Koridor sepanjang 97,3 Kilometer.
Sedangkan pada era Fauzi Bowo sudah dibangun empat koridor yakni Koridor VIII (Lebakbulus-Harmoni), IX (Pinangranti-Pluit), X (Cililitan-Tanjungpriok), dan XI (Kampungmelayu-Pulogebang). "Empat koridor sejak 2007-2011 menambah 86,3 kilometer, dan pada akhir tahun ini koridor XII (Pluit-Tanjungpriok) akan beroperasi, jadi menambah 20 Kilometer," jelasnya.
Manajemen Transjakarta, kata dia, juga sudah diubah beberapa kali menjadi lebih baik. Pada 2006, Transjakarta sudah menjadi Unit Pengelola Teknis (UPT) Transjakarta, dan pada 2010 menjadi Badan Layanan Umum Daerah (BLUD).
"Kita juga sudah masukkan Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) Transjakarta, saat ini masih dibahas di DPRD, jika sudah disahkan, Transjakarta akan menjadi PT, jadi bukan manajemen warung tegal seperti yang dikatakan Cawagub itu," ujarnya.
Mengenai Mass Rapid Transit (MRT), Fadjar menjelaskan, Pemprov DKI membutuhkan pendanaan yang besar dari Japan International Corporation Agency (JICA). Sehingga membutuhkan waktu yang tidak sedikit. "Selasa (18/9) akan diumumkan urutan pemenang tender proyek MRT, di lapangan, kawasan Jalan Fatmawati juga sudah dilebarkan, membangun MRT itu bukan kerja sembarangan," tegasnya.
Memang Jokowi-Ahok hanya proyek dari kelompok-kelompok yang menginginkan DKI Jakarta ini, dikuasi oleh orang-orang yang anti Islam, dan kelompok cina, dan sekarang sudah menguasai asset ekonomi negara, dan menjadikan DKI Jakarta, seperti Singapura, nantinya.
Dengan menguasai ibukota Jakarta, maka otomatis golongannya Ahok, sangat mudah menekuk dan memasukkan Indonesia ke dalam kantong sakunya.
Selanjutnya, negeri yang kaya raya ini menjadi bagian Singapura,serta Ahok akan menjadi gubernur jenderalnya. Di mana Singapura menjadi pemimpin cina perantauan (chinese overseas). Pribumi tinggal menjadi kuli di negerinya sendiri, dan hanya bisa menggigit jarinya. Believe it or not. af/ilh.
0 komentar:
Posting Komentar